Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Transformasi RRI-TVRI

RUMAH PERUBAHAN | RTRI

Oleh A. P. Wicaksono

Hembusan isu transformasi lembaga penyiaran publik menjadi lembaga yang kuat, independen, dan profesional semakin kuat. Pembahasan Rancangan Undang-undang Radio dan Televisi (RUU RTRI) yang telah masuk dalam prolegnas 2015 DPR RI, bersama RUU penyandang disabilitas, RUU perubahan UU penyiaran, dan RUU lainnya. Namun rencana pembahasan RUU RTRI itu kandas karena ketatnya tarik menarik kepentingan dan dinamika politik senayan. Meskipun kini pada tahun 2016 RUU RTRI juga masuk dalam daftar panjang Prolegnas 2016 2015-2019, tetapi hingga akhir tahun 2016 ini belum ada tanda-tanda akan ada pembahasan RUU tersebut. Artinya, RUU ini masih belum menjadi prioritas DPR RI.

Kondisi ini menyebabkan lambatnya transformasi TVRI dan RRI menjadi lembaga penyiaran publik yang independen dan profesional. Padahal transformasi TVRI dan RRI sudah kian mendesak. Dalam riset “RRI dan TVRI dengan Pendekatan Audit” pada Mei 2015 lalu, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RP LPP) menemukan bahwa kondisi personil SDM RRI sudah banyak yang menjelang usia pensiun. Ironisnya RRI secara kelembagaan tidak memiliki wewenang merekrut Pegawai Negeri Sipil lagi. Dengan kata lain peluang munculnya inovasi dari generasi muda akan sulit.

Posisi kelembagaan LPP seperti ini membuat RRI dan TVRI tidak dinamis, padahal lembaga penyiaran dituntut adaptif terhadap dinamika peristiwa. Bukan tidak mungkin jika kondisi ini terus berlarut-larut, RRI bisa menurun kualitas siarannya karena punggawanya sudah banyak yang uzur atau pensiun. Menurunnya kualitas dan kuantitas SDM LPP mengakibatkan hak publik atas informasi akan tidak terpenuhi.

Maka pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana model dan status kelembagaan yang ideal agar mentransformasikan TVRI dan RRI menjadi independen dan profesional? Tulisan kali ini mencoba memeriksa konsep dan status kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan yang memang dicipta menjadi lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain (pasal 1, nomor 1, UU Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan).

Independensi OJK versus RRI dan TVRI

Bila memeriksa Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang OJK, dapat kita temukan bahwa OJK didesain menjadi lembaga yang sifatnya mandiri dan independen. Pernyataan itu dituangkan secara rigid dalam undang-undang (pasal 2). Bagaimana OJK bisa menjadi independen? Dalam bagian penjelasan undang-undang ini disebutkan secara jelas bahwa OJK yang sifatnya independen ini berkedudukan di luar pemerintah. Tentu upaya mewujudan lembaga OJK yang independen ini tidak hanya dengan mendudukkannya sebagai lembaga di luar pemerintah, melainkan yang terpenting juga adalah memayungi tata kelola (governance) OJK dengan payung hukum undang-undang, bukan Peraturan Pemerintah seperti payung hukum RRI dan TVRI.1

Secara hierarki hukum, undang-undang adalah produk hukum tertinggi setelah Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR (Tap MPR).2 Oleh karena itu dapat dimaknai bahwa status kelembagaan OJK yang dibentuk oleh Undang-undang sangat independen dan kuat jika dibandingkan dengan bila ia dibentuk oleh Peraturan Pemerintah. Ini berbeda jika dibandingkan dengan kondisi TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) kini. TVRI dan RRI kini memang punya dasar hukum pada pasal 14 ayat 1, Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Namun bila dilihat, aturan teknis yang mengatur LPP tidak ada dalam UU tersebut.

Artinya, kelembagaan, tata kelola, sifat, asas LPP tidak diatur secara rigid dalam UU yang khusus, melainkan Peraturan Pemerintah yang nitabene dibuat oleh lembaga eksekutif negara bukan perwakilan rakyat. Maka sulit sekali mengatakan bahwa regulasi yang mengatur RRI dan TVRI adalah mewakili suara rakyat yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuatan dan kelenturan lembaga ini dalam melaksanakan tugasnya pun menjadi pertanyaan? Apakah ia bebas dari intervensi lembaga eksekutif dalam hal ini pemerintah?

Diksi yang digunakan dalam UU OJK ini patut ditiru dalam RUU RTRI untuk menjadikan TVRI dan RRI sebagi LPP yang independen. Misi publik yang menginginkan TVRI dan RRI menjadi lembaga yang independen dalam RUU RTRI dapat diwujudkan dengan menggunakan diksi yang sama dalam payung hukum yang serupa yaitu Undang-Undang. Bagian penjelasan umum dalam UU OJK menjelaskan bahwa OJK berada di luar pemerintahan yang berarti ia bebas dari kekuasaan sehingga diksi ‘independen’ dalam UU ini menjadi nyata.

Diksi dalam UU OJK yang juga bisa diadopsi dalam RUU RTRI adalah diksi “bebas dari campur tangan pihak manapun” yang mendukung makna yang ada dalam bagian Penjelasan UU ini dengan kalimat bahwa OJK, “bersifat independen dala menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah,” dan OJK, ”tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah.”

Sebaliknya, dalam konteks RRI dan TVRI, tersirat keragu-raguan dalam merumuskan bentuk kelembagaan lembaga ini. Meski dalam UU Penyiaran menyebutkan bahwa dua LPP ini adalah lembaga independen, tetapi tidak didukung dengan kejelasan bentuk kelembagaan. Jika keduanya dibentuk denga sebuah PP, maka ia mau tidak mau menjadi di bawah kekuasaan pemerintah. Sekali lagi, maka sulit mengatakan LPP dapat menjalankan misinya menjadi lembaga penyiaran yang independen. Bagaimana bisa independen bila payung hukumnya ragu-ragu.

Fakta ini muncul pula pada temuan riset RP LPP pada 2015. RRI dan TVRI baik di pusat maupun satuan kerja/ stasiun di daerah mengatakan hal yang mencengangkan. RRI mengakui bahwa dalam hal kelembagaan sudah tidak di bawah pemerintah atau Kementerian Kominfo, tetapi untuk urusan keuangan dan kepegawaian berada di bawah naungan Kementerian Keuangan. Sedangkan TVRI mengatakan lembaganya berada di bawah naungan Kominfo.

Akan tetapi, yang patut dijadikan catatan dalam UU OJK, meski secara kelembagaan OJK diharapkan dapat independen, pada kenyataannya masih banyak keraguan akan independensi OJK. Keraguan ini muncul karena UU OJK mengamanatkan susunan organisasi Dewan Komisioner OJK yang harus memasukkan dua orang komisioner OJK ex officio dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Ini memungkinkan konflik kepentingan muncul dalam tubuh Dewan Komisioner OJK.

Belum lagi tidak ada mekanisme kontrol di tubuh OJK terhadap Dewan Komisioner OJK sebagai lembaga tertinggi OJK. Meskipun bisa dimengerti bahwa OJK layaknya lembaga independen negara yang lain dikontrol oleh DPR RI. Komite Etik, Dewan Audit, dan Kepala Eksekutif Pengawas pun juga merangkap sebagai 9 anggota Dewan Komisioner OJK. Jadi, Dewan Komisioner berfungsi sebagai regulator sekaligus pelaksana regulasi. Sistem organisasi satu kamar seperti ini sulit diadopsi oleh RRI dan TVRI yang beban kerja dan dinamikanya sangat tinggi. Maka dari segi organisasi, RUU RTRI kiranya sulit untuk bisa mengadopsi model satu kamar ini karena berpotensi bertentangan dengan semangat menjadikan status kelembagaan RRI dan TVRI yang independen dan profesional. Pun bila hendak merujuk sistem organisasi LPP Dunia, rata-rata lembaga penyiaran publik (Public Broadcasting Service) di luar Indonesia menggunakan model dua kamar untuk mewadahi representasi pengawasan dari publik di satu sisi, dan pelaku penyiaran yang profesional di sisi lainnya. (RUMAH PERUBAHAN | RTRI)

1PP Nomor 13 Tahun 2015 tentang LPP TVRI dan PP Nomor 12 Tahun 2005 tentang LPP RRI

2Pasal 7, Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

One comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.