Mencari Komisioner Penyiaran Independen

 

Masduki, M.Si, MA

Keterangan: dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 27 Mei 2014

Paling lambat akhir Agusus 2014, masa jabatan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY akan berakhir. Sehingga sejak bulan Mei hingga Agustus 2014, ‘pintu’ pencalonan anggota Komisioner KPID 2014-2017 dibuka secara resmi. Setelah melewati ‘uji nyali’ penegakan hukum penyiaran dalam Pemilu dan Pilpres 2014, KPI/KPID memasuki masa kritis revisi UU Penyiaran yang akan menentukan nasib lembaga ini ke depan. Tulisan pendek ini mengurai beberapa catatan aktual terkait media penyiaran secara nasional dan lokal DIY serta memberikan rekomendasi kompetensi KPID ke depan.

Kelembagaan Penyiaran

Pertumbuhan lembaga penyiaran di Indonesia dalam 10 tahun terakhir sangat dinamis, termasuk di Yogyakarta. Dari segi jumlah, radio komersial dan radio komunitas makin imbang. Data beberapa lembaga riset seperti CIPG, PR2MEDIA dan KPI menyebutkan jumlah radio dan televisi bertambah signifikan. Di Yogyakarta, jika tahun 2005 baru berjumlah 47 stasiun radio, mayoritas radio komersal, maka tahun 2013 melonjak jadi 75 stasiun radio, separuhnya radio komunitas. Ceruk bisnis radio di Yogya juga diwarnai fenomena akuisisi kepemilikan radio berjaringan dari Jakarta, seperti jamak terjadi di daerah lain.

Dalam lingkup nasional terdapat tiga kecenderungan. Pertama, perkembangan massif radio dan TV jaringan nasional Jakarta yang kian menggeruk eksistensi radio dan TV lokal, baik dari segi konten atau pemilikan (content & ownership). Akuisisi radio lokal oleh radio jaringan yang format siarannya nyaris seragam makin menipiskan lokalitas radio. Riset PR2MEDIA dan CIPG menyebut, bisnis radio dan TV di Indonesia dikendalikan hanya 5 grup besar, yaitu grup MNC, MRA, KKG, Mahaka dan CPP radionet.

Kedua, berkembang model integrasi manajemen radio dan koran yang mensubordinasi radio. Masih perlu pengawalan, apakah jika kampus dan koran mengelola radio akan berhasil? Ketiga, intervensi kepentingan politik praktis pemilik atas isi siaran yang mereduksi hak publik. Pada Pemilu legislatif 2014, intervensi itu berjalan sangat terbuka dan sistimatik. KPI/KPID nyaris ‘lumpuh’/tidak bertindak signifikan.

Independen-Profesional

Menurut UU 32/2002, pasal 7 hingga 12, tata kelola penyiaran di Indonesia diregulasi dengan ketat dan dibawah supervisi lembaga Negara bernama Komisi Penyiaran Indonesia. KPI, baik di pusat atau daerah memiliki peran signifikan untuk menjamin iklim penyiaran yang sehat dan berpihak publik selaku pemilik frekuensi. Pasal 7 ayat 2 dalam UU 32/2002 menyebutkan, KPI adalah lembaga Negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran.

Belajar dari momentum Pemilu 2014, komisioner KPI dan KPID harus individu yang merupakan kombinasi dari jiwa independen, mau bekerja profesional mengabdi kepada Negara. Independen dari kepentingan pragmatis pemilik media dan profesional (bekerja penuh waktu) serta dedikatif. Pengalaman 10 tahun terakhir, independensi dan sikap profesional ini masih menjadi persoalan besar dalam tubuh KPI/KPID di Indonesia.

Tata kelola penyiaran di Yogyakarta masih perlu dibenahi, terutama penguatan regulasi, kompetensi manajerial dan konten siaran. Soal klasik kewenangan perizinan penyelenggaraan siaran, penguatan kelembagaan dan alokasi APBD DIY yang permanen juga krusial. Komisioner KPID harus bekerja sepenuh waktu, tidak rangkap jabatan.

Secara khusus, komisioner perlu pemahaman holistik UU 32/2002 tentang penyiaran dan potret penyiaran Indonesia yang mengakui empat bentuk lembaga: publik, swasta, komunitas dan berlangganan. Pemahaman inovasi teknologi penyiaran juga perlu, migrasi teknologi dari analog ke digital, dari web steaming ke podcasting harus dipahami secara komprehensif, baik dari segi aplikasisoftware dan hardware, maupun implikasi ekonomi dan sosial.

Secara khusus, keberadaan UU keistimewaan Yogyakarta perlu menjadi patokan dalam menjalankan kinerja KPID DIY. Amanat UU tersebut untuk menjaga identitas Yogya perlu diintrodusir dalam kebijakan penyiaran lokal DIY. Kini Yogya sedang ‘diuji keistmewaannya’ oleh serbuan industri kapital berskala besar seperti hotel, perumahan elit dan pusat belanja. Terdapat kontras sosial seperti infrastruktur publik yang lamban (jalan, sekolah, rumah sakit, transportasi umum), sedangkan properti mall dan hotel agresif,  jumlah kampus menurun, jumlah perumahan dan resto/café meningkat. Kecuali menjadi potensi pasar, apa peran sosial dunia penyiaran di Yogyakarta yang dapat didorong KPID?

 

Masduki, Ketua Tim Seleksi Komisi Penyiaran DIY 2014-2017,

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.