Transisi Menuju Digital Public Service Content – Antitesis Public Service Broadcasting

Masduki, dewan pendiri Rumah Perubahan LPP RI (RPLPP-RI), baru-baru ini mendapat kabari baik. Ia mendapatkan penghargaan hibah riset internasional dari IAMCR/ International Association for Media and Communication Research dan Urban Communication Fund dalam ajang Urban Communication Research Grant. Juni ini ia IAMCR akan menghelat seremoni pemberian pengahargaan itu di Tampere University, Finlandia, secara daring. Perhelatan itu bersamaan dengan dibukan konferensi komunikasi internasional yang diadakan IAMCR secara tiap tahun.

Pada hibah riset itu, Masduki mengajukan judul penelitian: Dari Seni Jalanan ke Media Sosial: Mencari Model Media Layanan Publik Alternatif untuk Masyarakat Jawa Urban di Kota Yogyakarta, Indonesia (From Street Art to Social Media: In Search of Alternative Public Service Media for Urban Javanese in the City of Yogyakarta, Indonesia). Selain dirinya, peneliti lain yang mendapatkan hibah adalah peneliti dari India, Preeti Raghunath, seorang Asisten Profesor di Institut Simbiosis Media dan Komunikasi (SIMC), Pune, India.

Penyiaranpublik.org mewawancarai Masduki, atau biasa dipanggil Adink, untuk melihat ke dalam proposal yang ia tawarkan pada enam juri terdiri dari dewan IAMCR dan Urban Communication Fund. Ia berbicara tentang mengapa riset ini penting untuk penguatan LPP di Indonesia, mengkritisi absennya LPP dalam isu-isu kepublikan, termasuk bagaimana media sosial dan media digital di era internet ini berpotensi menjadi media publik yang menwarkan layanan publik alternatif di saat LPP tak hadir dalam keseharian publik hari ini. Berikut kutipan wawancara A.P. Wicaksono dari penyiaranpublik.org dengan Masduki lewat percakapan daring.

  1. Mengapa riset ini penting dilakukan? Apa urgensinya? Apa pentingnya riset ini dalam penguatan LPP di Indonesia?

Riset ini bagian dari road map besar riset saya terkait mencari model model media layanan publik di negara pasca otoriter seperti Indonesia. Pencarian model ini perlu karena lembaga penyiaran publik yang ada (RRI TVRI) tidak kompatibel dgn tuntutan publik itu sendiri (kebebasan berekspressi, platform teknologi yang egaliter, partisipasi dalam produksi dll). Riset ini berbasis dua asumsi: bahwa publik itu cerdas dan mampu mengembangkan media yang sesuai kebutuhan mereka, dan bahwa media layanan publik di era digital itu lebih bertumpu pada content bukan institusi (public service content).

  1. Dalam proposal, Mas Adink menyebutkan absennya LPP RRI dan TVRI dalam isu-isu publik seperti yang diangkat Anti-tank, Warga Berdaya, dan WatchDoc. Mas adink menulis ” Furthermore, it will investigate and confirm the contestation between post-autocratic and analogue public broadcast platforms with the use of public art and social media for advocating such issues among activists and the public at large. Mengapa penting menyebut itu?

Selaras dengan argumen diatas, dalam periode transisi menuju public service content, selalu ada konflik/ perlawanan atas sebuah kemapanan media media lama. Nah, platform-platform street art juga penggunaan media sosial oleh aktifis Yogya Berdaya, Anti Tank bisa dianggap sebagai bentuk pengabaian atas media publik yang mapan, tua dan harusnya menjadi wadah mereka berekspresi. Penggunaan media sosial memberi kode bahwa public service platform bisa berkembang di Indonesia. Argumen ini akan saya konfirmasi lebih jauh dalam riset etnografi-content analisis nantinya.

  1. Mengapa etnografi dan anti tank? Sebenarnya kan ada aktivis-aktivis lain, seperti taring padi, dan kawan-kawan.

Anti Tank dipilih karena sejauh yg saya pantau di web mereka dan poster-poster yang dibikin, disebar, area isu isunya lebih holistik termasuk isu jurnalisme: kasus Udin. Anti Tank ini unik karena bersifat individual action. Tentu saja akan ada review historis bagaimana keberadaan komponen lain sejak pasca 1998 seperti Taring Padi, Apotek Komik, dll.

Etnografi dipilih agar riset ini bisa memahami keseluruhan proses kreatif, paradigma gerakan, proses kerja dan hambatan yang dihadapi secara empiris. Riset-riset sebelumnya tentang mural kota Yogya didominasi metode kualitatif deskriptif sehingga tidak mampu mengungkap fenomena obyek secara mendalam. Oh ya, riset ini sebetulnya memakai multi-methods, selain etnografi juga ada analisis isi dan analisis semiotik

  • 4. Oiya, ini kan masa pandemi, bagaimana rencana Mas Adink melakukan riset di tengah Pandemi begini. Tentu tidak bisa leluasa seperti biasanya kan, apalagi pakai metode etnografi.

Periode riset ini satu tahun, jadi etnografi akan saya lakukan awal tahun 2021, pada bulan bulan depan hingga Desember 2020 saya fokus ke literature review dulu.

  • 5. Sebenarnya, kalau dilihat dari skala project, nominalnya kan minimal sekali hitungannya ya mas?

Ya, dari segi nominal uang, sebetulnya hibah ini kecil sekali.

Dia lebih mirip award, hadiah. Tidak ada laporan penggunaan anggaran yang ribet kayak riset di Indonesia.

Dia lebih mengandalkan benefit pencitraan diri, prestise peneliti di komunitas internasional, kolaborasi jangka panjang, presentasi dan publikasi yang nilainya justru sangat besar. Misalnya Juni tahun depan saya diundang presentasi khusus di forum tahunan IAMCR di Nairobi Kenya. Juga akan ada kolaborasi lanjutan.

Nah ini yang justru memicu kompetisi hibah yang tinggi dan award ini biasanya hanya dimenangkan oleh peneliti Eropa atau North America. Saya orang pertama dari Indonesia.

Dan makanya hibah ini ditujukan untuk scholars yang sudah punya roadmap dan bukti-bukti publikasi sebelumnya

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.