Kisruh politisasi TVRI mencapai puncak dengan dipecatnya seluruh personal Dewan Pengawas (Dewas) TVRI periode 2011-2016 oleh Komisi I DPR RI (lihat http://bit.ly/1eZTXS3 ). Hal itu berarti kepemimpinan TVRI saat ini tidak lagi sesuai dengan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, PP No. 11/2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik dan PP. No. 12/2002 LPP TVRI. Pemecatan itu terjadi justru ketika TVRI sedang menghadapi pekerjaan besar nasional, yakni Liputan Pemilu 2014.
Lantas, siapa yang akan mengawasi kerja direksi TVRI di tahun politik ini kalau tidak ada lagi Dewas? Padahal, kasus pemecatan Dewas itu sendiri berakar dari pelanggaran Direksi yang membiarkan TVRI menjadi corong politik konvensi Calon Presiden Partai Demokrat pada September 2013 (http://bitly.com/16LairE ).
Pesan yang seolah hendak disampaikan dengan adanya pemecatan Dewas adalah membenarkan tindakan Direksi yang menyalahgunakan TVRI untuk kepentingan parpol tertentu secara tidak adil dan bertentangan dengan prinsip penyiaran publik. Ini adalah sinyal yang buruk bagi masa depan penyiaran publik di Indonesia.
Bongkar pasang direksi oleh Dewas sesungguhnya tidak hanya di TVRI, tetapi juga di RRI. Hanya karena posisinya mungkin sudah dianggap tidak lagi strategis, maka kisruh di RRI tidak pernah mendapat perhatian publik, apalagi oleh DPR RI. Publik secara luas kelihatan acuh tidak acuh terhadap RRI-TVRI.
Padahal, defacto RRI-TVRI adalah lembaga penyiaran publik milik negara yang dibiayai oleh APBN. Setiap tahun, sekitar 1,6 trilyun anggaran Negara dihabiskan untuk pengelolaan RRI dan TVRI. Bahkan tahun 2014 anggaran RRI-TVRI mencapai 2 triliun.
Kisruh yang terjadi antara Dewan Pengawas dan Dewan Direksi TVRI menunjukkan kuatnya campur tangan parlemen terhadap internal manajemen TVRI (http://bitly.com/16nhuKG), lemahnya kinerja SDM, serta rapuhnya manajemen LPP akibat politisasi serta praktik KKN (lihat http://bitly.com/SO9GgP danhttp://www.antikorupsi.org/id/content/icw-laporkan-korupsi-tvri-jilid-2-ke-kpk-senilai-rp-15-m serta http://bit.ly/1dDXB4x).
Sebagai bangsa yang telah memilih demokrasi sebagai dasar membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, keberadaan lembaga penyiaran publik adalah suatu keniscayaan.
Terlebih dalam tatanan penyiaran Indonesia yang kian didominasi oleh praktik penyelenggaraan penyiaran swasta yang kapitalistik, keberadaan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) sangat dibutuhkan untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, kultural, universalisme, pluralitas, dan nilai kepublikan lainnya. Bangunan negara demokratis akan segera runtuh jika lembaga penyiaran publik ambruk.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka kami menyampaikan petisi kepada:
Presiden Republik Indonesia
Ketua DPR RI
Ketua Komisi I DPR RI
Menteri Komunikasi dan Informatika
Agar MENYELAMATKAN LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK: RRI TVRI dengan:
1. Segera membahas RUU Penyiaran baru yang konsisten menempatkan RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik dengan ciri: independen, netral, dan tidak komersial.
2. Segera membuat UU khusus RRI-TVRI (RTRI) yang mengatur kelembagaan, konten, infrastruktur, dan transisi SDM dari aparat negara yang berbasis administratif menuju broadcaster profesional yang berbasis kreativitas.
3. Menolak Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disusun Pemerintah untuk RUU Penyiaran yang menempatlan RRI-TVRI berada di bawah kementerian Komunikasi dan Informatika karena akan mengurangi independensi RRI-TVRI.
Sehubungan dengan itu kami menyerukan dukungan atas petisi ini kepada seluruh lapisan masyarakat dengan memberikan tanda tangan.
Atas perhatian dan dukungan Anda, kami ucapkan terima kasih
Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik www.penyiaranpublik.org, @penyiaranpublik