Apakah ada kemungkinan RRI dan TVRI menjadi lembaga penyiaran publik yang kuat, independen, dan profesional.
Atau bisakah LPP menjadi lembaga yang adaptif dan dinamis yang tidak sekadar jargon? Tak sulit menjawabnya, tetapi tak mudah pula bila harus memaparkannya dalam satu kalimat ringkas. Apa pasal? Kerumitan dan silang sengkarut salah urus dua lembaga ini telah berlangsungvsejak bahkan lembaga ini berdiri. Meskipun kedua lembaga ini memiliki sejarah yang epik dan romantik di kalangan khalayak
Indonesia, tetapi bukan berarti sejarah emas selalu akan bertahan dalam gempuran perkembangan teknologi dan jaman.
Kini, TVRI dan RRI selalu mendengungkan harus bersaing dengan saudara tuanya, lembaga penyiaran swasta. Padahal, jika mau bersaing, tak ayal keduanya bakal terjerumus dalam jurang yang sama, yaitu menggadaikan publik dengan konten murahan, tak bermutu, alih-alih edukatif dan menarik kalangan muda. Dari hari ke hari, Yang ada, punggawanya hanya mengelus dada tanda kehabisan ide merebut khalayak dari lembaga swasta.
Maka Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RP LPP) pada 17 hingga 18 Desember 2016 berikhtiar merumuskan kembali usulan rancangan undang-undang Radio Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI). RUU ini sebagai bakal payung hukum secara sistemik mengubah LPP RRI dan TVRI menjadi lembaga seperti apa yang disebut di awal tulisan ini: lembaga yang kuat, independen, profesional sekaligus adaptif dan dinamis.
Workshop yang dihadiri semua tim kerja RP LPP ini juga menghadirkan Alfan Alfian dan Ambar Firda Mahasiswa Magister dari Fakultas Hukum UGM yang pada tahun sebelumnya juga adalah relawan RP LPP RI, yang memberikan beberapa perspektif Hukum Tata Negara terkait bentuk kelembagaan yang tepat bagi LPP. Beberapa hal yang mengemuka adalah, hingga saat forum ini digelar, lembaga yang paling mungkin menjadi contoh bentuk kelembagaan LPP adalah bentuk OJK dan Bank Indonesia. Ia adalah bentuk lembaga yang independen, dinamis, dan juga berada di luar pemerintahan. Artinya, cita-cita LPP menjadi Lembaga Penyiaran Publik semakin jelas, bukan Lembaga Penyiaran Pemerintah lagi seperti dahulu.
Paulus Widiyanto, tenaga ahli RP LPP RI, yang hadir dalam Workshop Penyusunan Draft RUU RTRI, di Yogyakarta, ini mengusulkan banyak hal tambahan untuk melengkapi dan merevisi RUU RTRI yang telah dirancang RP LPP pada 2014. Poin yang cukup mencerahkan forum workshop dan belum muncul pada draft usulan RUU RTRI tahun 2014 adalah soal National Broadcasting Fund/ dana penyiaran nasional. Ide ini, menjadi solusi dalam kebuntuan ketika mendiskusikan tentang model-model pendanaan yang ideal bagi lembaga penyiaran publik.
Dana penyiaran nasional ini secara teknis akan menghimpun sedikit dana dari lembaga penyiaran swasta, sebagai bentuk dukungan terhadap LPP, yang pada akhirnya dana ini khusus digunakan untuk membiayai produksi konten pada LPP. Nantinya, siapapun lembaga yang mengelola dana penyiaran nasional ini akan mendistribusikan dana ini pada pihak-pihak independen yang punya komitmen tinggi pada kualitas konten yang terbaik untuk publik dan harus edukatif dan mencerahkan. Urun daya dari pihak swasta atau pihak lain yang independen ini adalah solusi cerah. Bagaimana bisa?
Tentu saja, ini sangat memudahkan LPP dalam menjaring konten yang bermutu. Selain membantu LPP mendapatkan konten yang edukatif, kritis, dan mencerahkan untuk publik, ide ini juga akan membantu mengurangi kebutuhan dana LPP. Ini juga akan menegaskan diksi ‘publik’ dalam LPP dan mewujudkan secara nyata bentuk partisipasi publik dalam RTRI. Harus jujur diakui, hingga kini RRI dan TVRI masih sulit menjaring partisipasi publik macam begini. Jikapun ada, publik hanya dilibatkan sebagai pengisi konten. Itu pun hanya yang ‘sesuai anggaran’ atau tidak terlalu mengeluarkan anggaran besar.
Kerumitan-kerumitan yang disebut di atas berujung pada kesimpulan bahwa RRI dan TVRI lamban dan gagap membaca deru jaman: generasi yang terus berganti, teknologi dan semangat jaman yang terus berubah. Sementara, lembaga tua ini semakin gemuk dalam SDM, ringkih menera kecepatan arus digital, dan monoton dalam produksi dan kreasi konten. RUU RTRI berusaha memberi solusi atas kerumitan itu. Masukan dan tambahan ide sangat dibutuhkan untuk membuat RUU RTRI semakin lengkap. Hingga pada saat disahkannya nanti oleh DPR, RTRI atau LPP diharapkan publik akan menjadi lembaga yang betul-betul dari publik, oleh publik, dan untuk publik.