SURYA.co.id | SURABAYA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) yang kini masuk dalam tahap pembahasan di panja Komisi I DPR RI, diharapkan dapat segera disahkan.
Sebab, regulasi tersebut diharapkan dapat mengatasi masalah minimnya lembaga penyiaran komersial dalam menjaga netralitas menjelang pemilihan umum pada 2019 mendatang.
Berdasarkan penjelasan manager Program Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP), Darmanto, saat ini tak ada lembaga penyiaran komersial yang menjalankan profesionalisme dalam menjaga indepedensi berita.
Sebaliknya, LSM yang banyak menyoroti dunia penyiaran tersebut justru menyebut bahwa lembaga penyiaran saat ini terlalu mementingkan pemilik modal.
“Kami sudah sangat sulit untuk memberi kepercayaan kepadatelevisi maupun radio saat ini, terutama dalam menjaga netralitasnya. Indepedensi, menurut kami tak lebih dari sekadar wacana,” kata Darmanto pada acara “Diskusi Publik Mendorong Lahirnya UU RTRI” yang digelar Departemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair, Surabaya, Sabtu (13/5/2017).
Menurutnya, keberpihakan tersebut dilakukan secara masif dan terang-terangan bukan hanya oleh satu atau dua media saja, melainkan mayoritas lembaga penyiaran.
“Apalagi bagi pemilik media yang juga menjadi pemimpin partai. Biasanya merekalah yang akan diuntungkan,” lanjut pria asal Yogyakarta tersebut.
Buruknya perilaku lembaga penyiaran ini memang terbukti dengan dikeluarkannya teguran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada beberapa stasiun televisi yang berada dalam satu naungan baru-baru ini. Beberapa media televisi tersebut menayangkan siaran iklan salah satu partai politik di Indonesia.
Oleh karena itu, menurutnya, lembaga penyiaran publik (LPP) akan menjadi solusi terbaik atas masalah tersebut. Independensi LPP bisa meniru beberapa LPP serupa di luar negeri.
“Semestinya, LPP menjadi media utama dalam menjalankan fungsi ruang publik, bukan penyeimbang apalagi pelengkap. Bahkan tak hanya tingkat nasional, dalam perebutan pengaruh politk di dunia global, LPP diperlukan sebagai media diplomasi seperti yang dipraktikan BBC melalui BBC World Service dan VOA milik Amerika,” jelasnya.
Sekadar diketahui, RUU RTRI berisi mekanisme peleburan dua perusahaan penyiaran berplat merah, TVRI dan RRI menjadi RTRI. RUU tersebut sudah dalam pembahasan DPR RI sejak tahun 2013 silam. Meski di tahun pertamanya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional, namun nyatanya UU tersebut belum juga ditetapkan.
Selain terkait fungsi, “peleburan” dua penyiaran publik ini juga diharapkan dapat memaksimalkan internal kedua perusahaan ini. Di antaranya, mengurangi kuatnya feodalism dan birokratisasi, disharmoni antara dewan pengawas dan pengurus direksi, hingga pembiyaan tak efektif sebagai gaji SDM yang dianggap tak berkompeten.
Salah satu perwakilan dari TVRI Jatim, Mudjianto, menyebut bahwa beberapa poin dalam RUU tersebut yang masih dalam perdebatan adalah soal mekanisme penggabungan. Konsep peleburan, menurutnya bisa menimbulkan kegaduhan di internal kedua perusahaan, mulai dari jajaran direksi hingga akar rumput.
Sehingga, ia meminta adanya tambahan waktu untuk merealisasikan UU tersebut apabila nantinya benar disahkan. “Peleburan tersebut harus dilakukan secara bertahap dan tak bisa begitu saja dilakukan karena bisa menimbulman konflik baru di internal. Kami meminta waktu lima tahun, sebelum akhirnya benar-benar dilebur,” kata pria yang juga menjabat Bidang Pemberitaan TVRI Jatim ini.