KOALISI PECINTA PENYIARAN SEHAT INDONESIAPernyataan Sikap Koalisi Pecinta Penyiaran Sehat Indonesia terhadap RUU Penyiaran Versi Baleg tertanggal 19 Juni 2017

KOALISI PECINTA PENYIARAN SEHAT INDONESIA

Pernyataan Sikap Koalisi Pecinta Penyiaran Sehat Indonesia terhadap RUU Penyiaran 
Versi Baleg tertanggal 19 Juni 2017

Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi penyiaran. Komisi I Dewan 
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) karenanya telah menyusun draft revisi undang-undang penyiaran guna mengganti UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002.

Hingga saat ini, telah terjadi banyak perubahan dalam draft yang disusun oleh Komisi I hingga versi Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tertanggal 19 Juni 2017. Namun sayangnya, draft revisi UU Penyiaran versi Baleg jauh 
dari harapan publik, dan karenanya-menurut Koalisi Pecinta Peyiaran Sehat 
Indonesia-harus DITOLAK.

Setidaknya ada lima alasan yang membuat draft revisi UU Penyiaran versi Baleg harus ditolak. Kelima alasan tersebut adalah sbb.

1. Draft revisi UU Penyiaran versi Baleg tidak mencerminkan semangat demokratisasi penyiaran yang sudah diletakkan dengan relatif baik pada 
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebaliknya, draft versi Baleg lebih mencerminkan perselingkuhan antara otoritarianisme dan 
neoliberalisme di bidang penyiaran. 

a. Meskipun UU No. 32 Tahun 2002 belum mampu melahirkan 
regulasi independen yang progresif, tapi undang-undang tersebut relatif demokratis dengan melahirkan regulator independen KPI/KPID. Sayangnya, dalam draft revisi UU Penyiaran versi Baleg, keberadaan KPI bukannya diperkuat, tapi justru 
dilemahkan. Sebaliknya, regulator yang diperkuat adalah 
pemerintah (dalam draft UU Pemerintah Pusat, pasal 11). Ini 
bertentangan dengan semangat demokratisasi penyiaran, yang di
negara-negara demokratis diatur oleh lembaga negara independen, 
bukan pemerintah. 

b. Alih-alih memperkuat KPI sebagai regulator independen, draftrevisi UU Penyiaran versi Baleg juga memperlemah KPI dengan melahirkan regulator baru bidang penyiaran, yakni Organisasi Lembaga Penyiaran. Pasal 149 Ayat (1) menyatakan “Organisasi Lembaga Penyiaran merupakan satu-satunya wadah yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.” Dalam ayat (3) pasal tersebut dikemukakan bahwa ketentuan mengenai susunan Organisasi Lembaga Penyiaran ditetapkan oleh para lembaga penyiaran dalam anggaran dasar dan 
anggaran rumah tangga. Dalam ketentuan lain draft undang-
undang ini, disebutkan peran Organisasi Lembaga Penyiaran, 
diantaranya (1) Menjadi anggota Badan Migrasi Digital (Pasal 22 
ayat 4); (2) Menjadi anggota Panel Ahli yang dibentuk KPI yang 
bertugas memeriksa, meneliti, dan menangani pelanggaran P-3 dan 
SPS (Pasal 70 ayat 1—6); dan Memutus penyelesaian pelanggaran P-3 (Pasal 70 ayat 7). Hal ini jelas melanggar azas pengaturan penyiaran demokratis. Memperkuat pemerintah sebagai regulator penyiaran saja sudah merupakan KESALAHAN BESAR karena pemerintah bukan lembaga negara independen sehingga membuka peluang abuse of power. Tapi kesalahan itu diperburuk dengan memasukkan lembaga penyiaran sekaligus sebagai regulator. 

Dengan demikian, menjadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa 
draft revisi UU Penyiaran versi Baleg ini mencerminkan 
pengaturan penyiaran yang merepresentasikan sistem otoriter pada satu sisi dan neoliberal di sisi lain. 

c. Draft revisi UU Penyiaran versi Baleg tidak mendukung prinsip diversity of ownership dan diversity of content, terutama jika diletakkan dalam kerangka pluralitas masyarakat 
dan budaya Indonesia.

Sekurangnya, ada tiga hal berikut yang menunjukkan sikap Baleg ini.

i. Pemberlakuan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) tidak 
didefinisikan dengan jelas.

ii. Rendahnya muatan siaran lokal, dan bahkan muatan siaran 
lokal bisa bersifat cross culture (pasal 78). Jika ini terjadi, 
maka masyarakat dan budaya daerah tidak akan terepresentasi dengan baik. Sebaliknya, yang terjadi tetap seperti sekarang, yakni dominasi siaran Jakarta yang secara bersamaan menindas budaya dan kearifan lokal.

iii. Pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran yang tidak 
dirumuskan dengan tegas. Hal ini akan membuka peluang 
bagi dominasi segelintir lembaga penyiaran yang menghancurkan keberagaman sebagaimana telah terjadi.

2. Draft revisi UU Penyiaran versi Baleg tidak mendukung upaya 
membangun masyarakat yang produktif dan sehat. Hal ini jelas sekali dalam draft revisi UU Penyiaran versi Baleg yang menghapus laranganiklan rokok di media penyiaran yang termaktub dalam draft revisi UU 
Penyiaran versi Komisi I. Sikap Baleg ini bertentangan dengan UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya. 
Ia juga bertentangan dengan mandat Sustainable Development Goals (SDGs). Perlu diketahui, data WHO (2013) menyebutkan 144 negara dunia sudah membersihkan penyiarannya dari iklan rokok. Dalam hal ini, 
Indonesia merupakan negara tertinggal.

3. Migrasi sistem siaran analog ke digital sangat pro kapital, pemilik modal besar dalam industri penyiaran, dibandingkan upaya untuk membangun 
sistem siaran digital yang berpihak kepada kepentingan publik. 

a. Penggantian penyelenggara multipleksing dari single ke multi. 
Draft Baleg menetapkan bahwa lembaga penyiaran yang telah 
mempunyai Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dapat menjadi 
penyelenggara multipleksing. Jika draft ini disahkan, maka ia 
akan mengukuhkan dominasi siaran oleh sekelompok kapital besar.

Padahal selama ini lembaga penyiaran yang sudah ada gagal 
merepresentasikan diri dalam melayani kebutuhan siaran 
informasi dan hiburan yang sehat dan mencerdaskan. Sebaliknya, 
tayangan yang tidak bermutu dan sekadar mengejar rating akan 
semakin dominan dominan. Kombinasi antara penyelenggara 
multipleksing dan lembaga penyiaran swasta akan memperburuk dominas siaran tidak bermutu dan sekadar mengejar rating. 

b. Penyerahan digital dividend kepada swasta. Draft revisi UU 
Penyiaran versi Baleg dengan tegas mengemukakan bahwa 
kelebihan frekuensi pascamigrasi menjadi milik lembaga penyiaran 
swasta ber-IPP (pasal 26). Hal ini jelas sangat merugikan negara 
dan publik.Digital dividend mestinya bisa digunakan sebaik-
baiknya demi kepentingan bangsa dan negara, baik dari sisi 
ekonomi, politik, maupun budaya. 

c. Migrasi yang bersifat alamiah. Migrasi alamiah pada akhirnya 
hanya menguntungkan segelintir pemilik modal sehingga akan 
mengancam keragaman kepemilikan dan isi siaran. Ini akan 
semakin buruk ketika LPP dan LPK tidak mendapatkan perlakuan secara khusus

4. Draf revisi UU Penyiaran versi Baleg belum mencakup kewajiban 
lembaga penyiaran untuk menyiarkan isi siaran yang memberdayakan dan tidak menjadikan kelompok rentan (difabel, anak, perempuan, 
kelompok miskin) sebagai objek. Praktik menjadikan kelompok rentan sebagai objek dalam isi siaran juga dilakukan dengan menjadikan kelompok rentan sebagai objek untuk menginspirasi. Revisi UU 
Penyiaran perlu mendorong isi siaran yang mendidik khalayak menjadi masyarakat yang tidak menjadikan kelompok rentan sebagai objek atau objek inspirasi. Menjadikan penyandang disabilitas atau kelompok rentan 
lainnya sebagai objek inspirasi sama saja mengeksploitasi kelompok ini sebagai produk siaran untuk mendulang untung dan menganggapnya sebagai liyan atau ‘tidak normal’. Perilaku pelaku penyiaran ini tidak 
sesuai dengan CRPD yang telah diratifikasi oleh Indonesia serta undang-Undang no.8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.

5. Siaran iklan yang besar (30%) yang dihitung selama satu tahun. (pasal 142). Banyaknya siaran iklan akan semakin membuat isi siaran dan masyarakat semakin tidak sehat.

Berdasarkan butir-butir tersebut, kami menuntut Komisi I dan Baleg DPR RI untuk membahas kembali draft revisi UU Penyiaran, dan mengembalikan sistem penyiaran kepada prinsip-prinsip sistem penyiaran yang demokratis. 
Koalisi Pecinta Penyiaran Sehat Indonesia, terdiri dari 56 anggota yang dari beragam latar belakang seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Pusat Studi, 
Program Studi/Departemen/Jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia, dan asosiasi profesi (terlampir), karenanya akan terus melakukan monitoring terhadap 
pembahasan draft revisi UU Penyiaran untuk memastikan bahwa sistem penyiaran yang dibangun benar-benar mencerminkan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi diversity of content dan diversity of ownership.

Untuk itu, dalam waktu tidak lama, Koalisi Pecinta Penyiaran Sehat Indonesia akan 
menyusun position paper terkait dengan draft revisi UU Penyiaran versi Komisi I maupun versi Baleg.

Yogyakarta, Minggu Kliwon, 9 Juli 2017

Koalisi Pecinta Penyiaran Sehat Indonesia

Narahubung:
Puji Rianto (081326644427)
Intania (085640112872)

Anggota Koalisi
1. PR2Media
2. Prodi Ilmu Komunikasi UII
3. JRKI
4. Satunama
5. Rumah Sinema
6. Jurusan Ilmu Komunikasi UNY
7. Prodi Ilmu Komunikasi UAJY
8. Jurusan Ilmu Komunikasi UPNVY
9. Perkumpulan Masyarakat Peduli Media
10.Perkumpulan Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP)
11.Prodi Ilmu Komunikasi UNIDA Gontor
12.Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
13.Yayasan Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ)
14.Sangkala
15.Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 
(UMY)
16.Departemen Ilmu Komunikasi UGM
17.Ginjal KITA
18.SP kinasih Yogyakarta
19.Mitra wacana
20. Infest 
21.LBH Pers Yogyakarta
22.Prodi Ilmu Komunikasi Unriyo
23.Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO)
24.Prodi Ilmu Komunikasi Univ Aisyiyah Yogyakarta
25. Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) DIY

26.Rifka Annisa
27.Lakpesdam NU Gunungkidul
28.PKBI DIY
29.BPC Perhumas Pawitandirogo.
30.Combine Resource Institution 
31.Deaf Art Community 
32.Prodi Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana UAJY
33.Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY)
34.Yayasan Abisatya yogyakarta
35.Lakpesdam NU DIY
36.Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta
37.Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jember
38.Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
39.Perkumpulan Media Lintas Komunitas (MediaLink)
40.Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Luwuk Banggai
41. Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia Cabang Yogyakarta
42.Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau 
(UMRI)
43.Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah 
Palangkaraya
44.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah 
Jakarta
45.Prodi Ilmu Komunikasi UAD
46.Prodi Ilmu Komunikasi UHAMKA
47.Prodi Ilmu Komunikasi UMS
48.Departemen Komunikasi UNAIR 
49.STIKOM Muhammadiyah Jayapura

50.Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB)
51.Pusat Informasi Difabilitas www.solider.or.id
52.AJI Yogyakarta
53.Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP
54.Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (Sapda)
55.Prodi Komunikasi Univ Trunojoyo Maduraj
56.Puskakom Publik Univ Trunojoyo Madura
57.Angkringan Media
58.Srikandi Lintas Iman
59.LPM Himmah UII
60.Prodi Ilmu Komunikasi UMM
61.Asosiasi Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam-ASKOPIS 
INDONESIA
62.Komisi Media PWNU DIY
63.Lembaga Penyiaran NU DIY
64.Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga 
Yogyakarta
65.Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT)



Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.