Regulasi tentang RRI dan TVRI Masih Inkonsisten

Bagaimana aspirasi publik atas model ideal penyatuan LPP menjadi RTRI? Dari regulasi hingga iuran publik.

Isu penyatuan RRI dan TVRI menjadi RTRI mencuat lagi dalam Diskusi RUU RTRI versi publik di RRI Semarang, 15 Mei 2017, lalu.

Dalam diskusi tersebut, Darmanto menjawab beberapa harapan yang muncul soal model penyatuan RRI dan TVRI. Darmanto bercerita bahwa kita bisa belajar dari pengalaman penyatuan LPP model Prasar Bharati (LPP di India). Di India, LPP bergabung dahulu, “setelah itu baru lebur, seperti harapan teman-teman RRI, tetapi ternyata di India ini gagal. Mentalnya sudah jadi birokrat. Sudah terlanjur buruk,” papar Darmanto.

Dalam diskusi-diskusi sebelumnya, ada tawaran-tawaran yang mengemuka soal penyatuan RRI dan TVRI dari kalangan RRI dan TVRI. Meski belum ada kesamaan persepsi di RRI dan TVRI soal model penyatuan, tetapi penting untuk membahasa semua kemungkinan model dari beragam pengalaman LPP dunia yang pernah ada.

Herman Zuhdi, Kepala Stasiun RRI Semarang misalnya, dalam diskusi di RRI Semarang itu mengharapkan, di antara banyak pilihan bentuk penyatuan, aset-aset filosofis historis LPP tidak hilang begitu saja.”Kami punya Tri Prasetya, mars angkasawan, apakah filosofi historis ini akan hilang dengan RTRI?” Kata Herman Zuhdi yang sebelumnya adalah Kepala Stasiun RRI DKI Jakarta.

Menurutnya, militansi jurnalis RRI pada bangsa tidak akan goyah digoyang godaan pasar dengan adanya Tri Prasetya.  

Herman tidak menampik bahwa banyak peraturan dan regulasi soal LPP yang masih kontradiktif sehingga RUU RTRI menjadi penting untuk segera disahkan. “PP 12 itu banyak kontradiktif terutama soal PBPNS (harusnya honorer) tapi kenapa itu ada, itu untuk menyelamatkan RRI agar tetap eksis dan independen saat Departemen Penerangan dibubarkan.”

Rusli Sumara sebagai Kepala Stasiun TVRI Jawa Tengah juga mengamini bahwa masih banyak inkonsistensi dalam peraturan perundangan dalam pengaturan RRI dan TVRI. “Itu harus diselesaikan,” kata Rusli.

Rusli Sumara, yang sebelumnya pernah menjabat Kepala TVRI di Makassar, ini mengungkapkan bahwa meski LPP berjuang mati-matian untuk merebut publik dari TV swasta, tapi tetap saja sulit mendapat perhatian publik. Banyak kendala, terutama dari segi pendanaan.

“Pembiayaan kami untuk program itu hanya 650juta per tahun, jika dibagi rata-rata per hari ya dua juta atau 500 ribu rupiah perjam. Bagaimana bisa kami dengan 500 ribu per paket acara dibandingkan apple to apple dengan TV swasta yang anggaran mereka mencapai 200 juta per paket acara?” Ungkap Rusli.
Salah satu peserta diskusi ini dari jurnalis TVRI juga ada yang menambahkan bahwa selain dana, isu digitalisasi juga masih bermasalah. Andreas dari TVRI Jawa Tengah mengatakan pemerintah masih belum serius dengan digitalisasi TV, “4G sekarang di pedalaman masih belum nyaut. Bagaimana siaran digital TVRI sampai ke publik?” Tanya Andreas.

Andreas dari TVRI Jateng memertanyakan keseriusan pemerintah soal digitalisasi TVRI ( 15/5), dalam diskusi RUU RTRI versi Publik di Semarang.

Menurut Bambang Muryanto, moderator diskusi sekaligus Ketua RPLPP, pengakuan kawan-kawan TVRI ini juga senada dengan riset RPLPP, “bagaimana bisa di TVRI daerah anggarannya 1 tahun sama dengan anggaran 1 program di TV swasta?”

Oleh karena itu, banyak usaha yang dilakukan RRI dan TVRI agar publik kembali melirik dan mendukung LPP yang kuat.

RRI misalnya, sebagai radio bangsa, RRI sedang melawan stigma-stigma lama yang sudah kadung melekat di dalam benak publik. “Kami sedang melawan stigma jadul, stigma radio pemerintah. RRI ini kan punya publik, RRI tetap ikuti zaman dengan aplikasi rriplay,” kata Herman.

Triyono Lukmantoro dari Komunikasi Undip Semarang berpendapat bahwa publik di media swasta yang ditempatkan sebagai pasar, harus berubah menjadi citizen di penyiaran publik (LPP). “Apa kebutuhannya? Info yang sehat dan obyektif,” kata Lukmantoro.

Paulus Widiyanto, sebagai salah satu panelis, juga memberi solusi atas fakta pendanaan yang tak mencukupi operasional LPP. Menurut Paulus, yang dulu adalah Ketua Pansus RUU Penyiaran, selama ini LPP dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika ingin kuat, model pembiayaan LPP harus banyak berasal dari publik.

Paulus menjelaskan peta pembiayaan LPP yang ada di dunia menggunakan konsep segitiga revenue scheme.

Revenue Scheme: segitiga model pembiayaan penyiaran publik (LPP)

Jika LPP atau Public Service Broadcasting lebih condong ke sisi kiri segitiga, maka ia lebih berat ke arah pembiayaan dari Negara tapi sedikit atau kecil mengambil pendanaan dari publik. LPP di Indonesia kini menganut model ini. Sedangkan yang ideal, adalah 100, 0,0 atau hampir total menggunakan dana publik sehingga LPP menjadi kuat karena ini artinya LPP didukung penuh oleh publik.

Paulus melanjutkan, “ada dana USO telekomunikasi, diambil dari kita beli pulsa. Saya sedang usahakan ada dana USO penyiaran ditarik oleh kominfo.Itu bisa jadi broadcasting fund,” harap Paulus.
Menurut Paulus, National broadcasting Fund (dana penyiaran nasional) adalah solusi dana penyiaran secara nasional. Dana ini adalah demokratisasi atau gotongroyong penyiaran yang masuk jadi dana abadi penyiaran. “Besok dengan RTRI dan national broadcasting fund ini, LPP cuma fokus ke konten. Tidak lagi dipusingkan dengan administrasi. Fokus ke program,” jelas Paulus kemudian.

Darmanto mengamini Paulus, “RTRI nanti direktur eksekutif tidak akan pusing urus SDM, administrasi, fokus urus aja program.” Ia menambahkan bahwa RPLPP telah menjaring aspirasi masyarakat dan mengusulkan di RTRI bentuk DPP/ Dewan Penyiaran Publik (dewas yang kuat). Caranya, DPP dipilih oleh pansel, bukan parlemen, yang sarat transaksi politik.

Meski begitu, salah satu peserta diskusi ada pula yang menyangsikan ide iuran pendanaan dari publik. Pedro HD dari Forum Kelompok Pemerhati LPP mengatakan, “soal iuran publik. income per kapita indonesia berapa? Luar negeri berapa? Kita masih kecil. Gitu kok suruh bayar iuran.

Soal ini, Paulus menjawab bahwa sampai kini ia masih memiliki dokumen iuran publik TVRI yang dahulu pernah dilaksanakan di Indonesia. Dahulu dana ini lancar, tapi karena penyalahgunaan kroni dalam pemerintahan orde baru membuat publik tak percaya. Dana iuran publik diselewengkan.

“Saya masih punya dokumennya iuran publik itu. Itu amanat UU penyiaran. Dalam UU itu masih ada. Tapi mengapa tidak penah dipungut. Saya tanya Departemen Kuangan, PP-nya (peraturan pemerintah) ada, tapi Kemenkeu RI nggak tunduk.”

(A.P.Wicaksono)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.