oleh Masduki
Sekadar catatan kecil. Semoga dapat menjadi bekal para calon anggota Dewan Pengawas RRI (Dewas Radio Republik Indonesia) dan pertimbangan tim seleksi dalam mencari calon anggota Dewas RRI.
Sebuah kesempatan langka saya dapatkan setelah presentasi tentang dinamika LPP Indonesia pada forum konferensi internasional IAMCR (The International Association for Media and Communication Research) di Leicester, Inggris, akhir bulan Juli 2016. Apa itu? Bertemu dan berdiskusi hangat dengan dua professor ahli perbandingan penyiaran publik dunia, Prof. Dr. Johannes Bardoel (University of Amsterdam) dan Prof. Dr. Leen d’Haenens (Leuven University Belgium).
Sambil menikmati cappucino di tengah keramaian sebuah cafe di London Road kota Leicester, kami ngobol “ngalur ngidul“ soal dinamika penyiaran publik di dunia, termasuk di Indonesia. Diskusi terasa menarik karena keduanya pernah beberapa kali ke Indonesia (Jakarta), berceramah di kampus UI, bahkan Prof Leen pernah menjadi penguji disertasi S-3 ahli komunikasi politik Indonesia, Effendi Gazali, kenal beberapa pakar komunikasi asal Indonesia, menyukai nasi goreng dan nasi Padang….
Di penghujung pertemuan, kami bertiga sependapat bahwa trust, membangun dan memelihara kepercayaan publik adalah kunci keberlangsungan hidup LPP (Lembaga Penyiaran Publik) di manapun. Seperti halnya slogan RRI: menjadi terpercaya dan terkemuka. Sebuah slogan yang tepat, menantang.
Inggris sebagai pusat kelahiran sistem penyiaran publik, lembaga tertinggi di BBC diberi nama TRUST, bukan Dewan Pengawas atau Dewan Gubernur seperti di negara-negara lain. Maknanya: perubahan menuju LPP harus dimulai dari penguatan persepsi publik dan kinerja lembaga tertingginya, yang di TVRI dan RRI bernama Dewan Pengawas.
Melalui tulisan pendek ini, saya ingin berbagi gagasan kecil penguatan Dewan Pengawas di tengah seleksi anggota Dewas RRI tahun 2020, dengan berkaca pada model kelembagaan TRUST di BBC Inggris. Selain BBC, model baik juga bisa kita contoh dari Board of Governors NHK Jepang, dll.
Argumen utama tulisan ini adalah kesimpulan bahwa Dewan Pengawas RRI itu disalahpahami, dan akibatnya dikelola untuk kegiatan yang tidak sepenuhnya tepat. Akibat lanjutannya: Dewan Pengawas RRI mengalami krisis wibawa: internal dan eksternal.
Nah, upaya mengembalikan wibawa Dewas harus dimulai dari pemahaman yang sama terhadap konsep dan peran Dewan Pengawas itu sendiri. Jika kita pelajari penuh model TRUST BBC, maka lembaga ini lebih dari sekadar pengawas, atau badan pengontrol kinerja direksi seperti Komisaris perusahaan atau lembaga negara serupa di Indonesia.
Tugas TRUST lebih holistik dan menuntut kinerja harian yang tinggi, melibatkan berbagai komponen eksternal publik selaku pemilik sejati LPP. Jika konstituen direksi adalah para kepala stasiun dan seluruh broadcaster, konstituen TRUST itu berbeda, lebih ke luar bukan ke dalam, yaitu: parlemen/ pemerintah, wakil-wakil publik, audience council.
Jika direksi fokus bekerja memperkuat profesionalisme broadcaster, maka TRUST fokus memperkuat kepercayaan publik, melibatkan publik untuk memantau, mengevaluasi penyelenggaraan siaran LPP. Dengan kata lain, bentuk kegiatan kedua lembaga itu berbeda, tidak overlap atau saling intervensi.
TRUST jika di Indonesia bukan seperti komisaris atau dewan penasehat semata, yang hanya mengambil peran supervisi, tetapi mirip Komisi Penyiaran selaku regulator hingga eksekutor atas malpraktek penyiaran. Direksi adalah pelaksana.
Secara historis mengapa istilah DEWAS muncul dalam UU Penyiaran no 32/2002? barangkali bisa dipahami karena sebelumnya RRI dan TVRI berstatus sebagai Perusahaan Jawatan (Perjan) di bawah Kementerian BUMN. Istilah DEWAS jamak ada di lingkungan BUMN dan lebih mudah dipahami pemerintah/DPR selaku pembuat regulasi ketimbang misal Dewan Penyiaran Publik.
Ringkasnya, TRUST adalah “Komisi Penyiaran Publik”, sedangkan tim Direksi adalah pelaksana tugas-tugas operasional yang sudah diatur sangat rinci oleh TRUST. Jika TRUST berada di hulu (membuat RENSTRA untuk dikerjakan direksi) dan hilir (mengevaluasi kinerja berdasarkan RENSTRA), maka direksi berada di tengah (pelaksana). Jangan terbalik atau “jeruk makan jeruk”: tim Direksi ikut membuat RENSTRA dan melakukan evaluasi, padahal merekalah pelaksananya. Atau sebaliknya: TRUST ikut gaya Direksi road show pembinaan ke dalam melalui ceramah dll. Penelitian mengevaluasi siaran berada dibawah kendali TRUST, bukan direksi. Demikian pula, audit kinerja yang di RRI dilakukan satuan pengawas internal selaku “wasit”, harusnya bukan dikendalikan Direksi selaku para “pemain”.
Jika dianalogikan sebuah NEGARA, Dewan Pengawas adalah parlemen dengan tiga TUPOKSI: budgeting (perencanaan dan evaluasi anggaran, melibatkan BPK), regulating (pembuatan berbagai regulasi kelembagaan melibatkan tim ahli), monitoring (pemantauan kinerja Direksi dan seluruh broadcaster pada core business siaran melibatkan audience council). Dalam sistem politik parlementer, parlemen atau dalam konteks ini Dewas berhak memilik Direksi dan memberhentikannya sebagaimana parlemen memilih Presiden/Wapres. Jelas sekali berbeda pada tiga sisi: wilayah kerja, pola kerja dan mitra kerjanya! Ibarat pertandingan sepakbola, Dewas adalah penyelenggara, komite audit adalah wasit yang membantu tugas Dewas, penonton adalah dewan khalayak. Direksi dan broadcaster adalah para pemain!
Dalam regulasi khusus bernama BBC Charter, tugas utama TRUST (setelah memilih tim direksi) dirumuskan ada tiga:
(1) setting BBC’s strategy (mendesain dan menetapkan RENSTRA lima tahun/satu periode). Dalam praktek, TRUST membuatnya dengan melibatkan perwakilan tokoh publik di semua provinsi di Inggris melalui lokakarya dua atau tiga hari di beberapa lokasi. Jika draft sudah selesai, maka sebelum disahkan dilakukan lagi public hearing, hasilnya dimuat di website.
(2) menyetujui rancangan anggaran dan mereview pengeluarannya (ini biasanya berlangsung di awal dan akhir tahun anggaran). Kegiatan review ini tidak hanya dilakukan oleh anggota TRUST, tetapi melibatkan ahli keuangan/konsultan independen, dalam bentuk lokakarya audit khusus keuangan. Sebagai contoh, pada tahun 2016 ini, BBC TRUST melibatkan konsultan Ernst and Young untuk mereview efektifitas pemasukan dan pengeluaran keuangan, transfer pricing yang dilakukan direksi/executive board. Hasilnya dilaporkan ke publik lewat website dalam bentuk National Audit Office (NAO) BBC Report.
Tugas ke (3) memonitor dan mengevaluasi output siaran BBC, baik siaran dalam maupun luar negeri (BBC World Service), dengan metode yang dibuat sebelumnya. TRUST berwenang membuat dan mereview editorial guidelines untuk program news yang melibatkan perguruan tinggi seperti University of Sheffield (2016). Direksi bidang program tinggal melaksanakan. Sampai saat ini, setidaknya TRUST telah merumuskan 6 protokol (SOP) pedoman evaluasi siaran. Dalam situs: http://www.bbc.co.uk/bbctrust/governance kita bisa menemukannya: public purpose remit, service review, competitive impact, public value test, complaint procedures, diversity and equality, dll. RRI dan TVRI bisa mengambil inspirasi.
Dalam hal perumusan atau revisi UU, TRUST tahun 2016 aktif melakukan lobi, penggalangan dukungan publik untuk review 10 tahunan atas BBC Charter. Mirip dengan proses advokasi atas RUU RTRI, BBC TRUST sangat aktif membuat dua kegiatan: konsultasi publik berupa diskusi keliling beberapa daerah dan penelitian memetakan aspirasi publik atas isu isu dalam Charter, didukung oleh lembaga audience council/dewan khalayak. Ini bukan ranah direksi yang harus fokus melayani publik melalui tugas-tugas operasional siaran.
Tidak kalah pentingnya adalah publikasi laporan tahunan (annual report) kerja TRUST kepada dua lembaga: parlemen selaku wakil pemerintah, dan publik pembayar iuran melalui website. Ini bentuk pertanggungjawaban sekaligus menjaga kepercayaan.
Sejauh yang saya amati, selama empat periode DEWAS RRI, belum pernah ada laporan terbuka yang sistematik terkait kinerja DEWAS. Sehingga bisa dipahami, jika publik termasuk broadcaster radio nasional ini masih mempersepsi keliru tentang apa saja yang sudah dilakukan. Bahkan jika saat ini kita cek website http://www.rri.co.id/profil.html, isinya masih belum lengkap profil siapa saja anggota Dewas dan apa program kerjanya, demikian pula tim Direksi! Minimalis.
Untuk memenuhi semua tugas diatas, TRUST memiliki tiga lembaga pendukung yang diatur resmi dalam UU (Charter). Pertama, tim ahli independen di luar BBC, yang terdiri dari pakar media penyiaran dan hukum media. Kedua, tim sekretariat yang mengelola penuh keperluan administrasi program, anggotanya direkrut sendiri oleh TRUST. Ketiga, dewan khalayak (audience council). Kombinasi ketiga institusi ini menunjang penuh desain kegiatan, monitoring, evaluasi dan pengambilan tindakan oleh TRUST. Semua pihak tentu patuh atas modul/SOP yang sudah dibuat ketika melaksanakan tugas, tidak improvisasi.
Jika diterjemahkan dalam struktur Dewas di Indonesia, inilah hasilnya: DEWAN PENGAWAS, membentuk dan bermitra dengan tiga lembaga: Audience Council, Tim Ahli (Untuk pembuatan regulasi strategis dan operasional), Komite Audit (program dan keuangan). Posisi keempat pihak ini tidak bersifat struktural, tetapi kemitraan. Dibawah Dewas secara langsung adalah DIREKSI, yang sepenuhnya melaksanakan tugas Dewas. Seluruh pedoman kerja sudah disediakan dengan memadai oleh Dewas (contoh? lihat website TRUST BBC).
Nah, sebelum membahas apa saja rekomendasi perubahan yang bisa dilakukan, penting melihat bagaimana posisi dan rumusan kinerja Dewas menurut UU 32/2002 dan PP. 12/2005 RRI. Rumusan ketentuan mengenai Dewas cukup jelas dan kuat sebagai sebuah institusi yang mewakili publik dan menjalankan tugas kepublikan. Namun demikian, baik pada UU maupun PP, tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait pola kerja, mitra kerja dan target kerja sebagaimana jamak kita temukan pada regulasi serupa di NHK dan Thai PBS. Patut diduga, rumusan kerja Dewas mengambil inspirasi Tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) Trust BBC yang diatur di BBC Charter dan Royal Charter, tetapi tidak mengadopsi lebih lanjut bagaimana rumusan detailnya. Keadaan ini ditambah situasi politik ekonomi periode pertama dan kedua Dewas: posisi RRI maupun TVRI yang masih limbo, penuh improvisasi kerja dan intervensi eksternal, serta lemahnya pengetahuan kelembagaan LPP di kalangan anggota Dewas yang datang dari berbagai unsur.
Prakteknya, Dewas hanya melakukan perumusan regulasi umum awal periode jabatan, kemudian melakukan monitoring tanpa mengembangkan berbagai regulasi instrumental yang menunjang monitoring ini. Publik juga tidak terlibat dalam proses perumusan dan evaluasi kinerja Direksi, karena secara formal tidak ada dewan khalayak (audience council) yang dibentuk Dewas sebagaimana di BBC dan NHK. Akibatnya, Dewas kerapkali dinilai subjektif dalam mengambil keputusan. Bahkan akibat relasi paternalisme yang kuat, Direksi terlibat melakukan regulasi dan advokasinya seperti membuat RENSTRA, draft UU RTRI yang seharusnya menjadi kewenangan penuh Dewas, dibantu tim ahli yang dapat direkrut secara adhoc. Baik dalam UU maupun PP yang melarang Dewas memiliki tim ahli, membentuk tim audit kinerja, memiliki anggaran besar pendukungnya. Tidak ada larangan, mungkin hanya belum ada inisiatif akibat pemahaman bahwa Dewas tidak lebih sebagai komisaris BUMN.
Nah, belajar dari model BBC di atas, ke arah mana transformasi DEWAS RRI perlu dilakukan?
Setidaknya untuk dua tujuan: Pertama, memperjelas distingsi, keberbedaan tugas antara lembaga ini dengan Dewan Direksi, menutup celah overlap atau intervensi tugas yang bukan wilayahnya yang berpotensi memperlemah kepercayaan publik dan marwah Dewas itu sendiri. Kedua, semakin memperkuat kinerja yang mengarah kepada pelibatan akses, partisipasi publik, bukan sebaliknya, mendekat ke pemerintah. Soal nama lembaga tidak harus diubah menjadi TRUST, yang utama adalah kinerjanya. Pada akhirnya, semua rumusan penguatan ini harus dituangkan dalam RUU RTRI, agar kuat seperti BBC Charter.
Jika kita belajar lagi dari TRUST BBC, maka langkah awal adalah komitmen yang kuat untuk penguatan, diwujudkan melalui penataan ulang struktur organisasi, pengadaan sumber daya manusia dan sumber dana yang memadai untuk kinerja harian DEWAS. Dalam masa transisi sampai UU RTRI disahkan, maka beberapa langkah strategis menurut saya tetap bisa dilakukan, karena posisi DEWAS yang saat ini cukup kuat menurut UU 32/2002.
Harus ada perubahan persepsi dari Dewas yang semata berfungsi monitoring, sehingga kerapkali menjadi sasaran “rasanan” kritik, tidak tampak bekerja, intervensi kegiatan direksi, menuju Dewas yang kuat, memiliki tim kerja, program dan anggaran yang terukur. Faktanya, dengan reward/gaji bulanan yang relatif tinggi saat ini, Dewas memang bukan komisaris di perusahaan yang ketentuan gajinya hanya maksimal 75 persen dari direksi. Artinya, tuntutan kinerja Dewas di RRI kita memang sudah sepantasnya harus melebihi komisaris.
Pertama, segera merumuskan SOP hingga program kerja strategis sampai 5 tahun ke depan, yang terukur dan jelas. Model program kerja TRUST BBC bisa diambil contoh. Kedua, memperkuat basis tim pendukung, antara lain dengan mengangkat tim ahli, memperbesar alokasi dana untuk kegiatan tim termasuk memperkuat tim pengelola sekretariat DEWAS. Meskipun belum diatur dalam UU atau PP 2005, inisiatif kreatif Dewas mestinya bisa ditempuh.
Ketiga, pemindahan tim atau bidang penelitian pada Puslitbangdikat dan Satuan Pengawasan dari kendali direksi ke DEWAS. Fungsi penelitian lebih ke perancangan sebuah siaran, pemetaan daya pancar atau evaluasi konten yang lebih dekat ke kewenangan Dewas, bukan Direksi. Juga fungsi SPI. Sedangkan fungsi DIKLAT tetap dibawah kendali direksi, karena ini menyangkut penguatan profesionalisme SDM para pelaksana siaran/teknik, dll.
Keempat, segera membentuk audience council baik ditingkat pusat maupun daerah. Jika memang sudah ada keputusan untuk mengarahkan Forum Komunikasi Pemerhati (FKP) RRI untuk tugas evaluasi siaran, maka forum yang sudah ada di berbagai daerah ini bisa menjadi model awal audience council. Kewenangan pengelolaannya harus diambil alih oleh Dewas, bukan lagi Direksi agar Direksi tidak “jeruk makan jeruk”, mengelola penilai kinerja dirinya. Sebaliknya, pemerhati akan bebas mengevaluasi isi siaran dan melapor ke Dewas.
Mencermati model kewenangan dan program kerja TRUST, maka model pembidangan kerja di DEWAS RRI saat ini sudah perlu dipertajam, bukan lagi mengacu tupoksi internal, yaitu Dewas untuk siaran, teknik atau pengembangan usaha, tetapi mengacu kepada isu strategis seperti di Komisi Penyiaran Indonesia. Misalnya ada Dewas yang khusus mengurusi kerjasama eksternal termasuk advokasi RTRI, Dewas khusus urusan audit kinerja seperti di NHK, urusan pengelola audience council di semua provinsi, dll. Dewan Pengawas adalah ‘wajah’ RRI, jika kinerjanya buruk maka buruk pula lembaganya. Di berbagai negara, Dewan Pengawas adalah ujung tombak transformasi sebuah LPP dalam membangun reputasi publik.
Salam perubahan.
Masduki
1. Peneliti sistem penyiaran publik, alumnus University of Munich, Jerman.
2. Pengajar tetap Program Studi Ilmu Komunikasi UIIYogyakarta.
3. Pendiri Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP).
Sumber foto: pusdatin.rri.co.id
Mencerahkan. Semoga Dewan LPP RRI 2021-2026 mampu menggerakkan perubahan sesuai tuntutan jaman.