Satu Dekade Gerakan Advokasi Penyiaran Publik

23 Februari 2013-23 Februari 2023

Website: https://penyiaranpublik.org/

Buku yang ditulis Tillman & Broke (2021) tentang tips merayakan kemenangan kecil untuk meraih kemenangan besar (small victory can lead to a big joy) barangkali bisa saya pinjam untuk menggambarkan usia 10 tahun Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP). Ini potret sebuah gerakan sosial kecil untuk sebuah isu masyarakat yang juga sangat spesifik: advokasi lembaga penyiaran publik (LPP) di Indonesia.

Small but beautiful: isunya tampak kecil, tetapi pada berbagai forum internasional justru ia menjadi isu rebutan karena ‘cantik’, menentukan ke arah mana sebuah rezim politik dan ekonomi media sedang berjalan… Ia menjadi simbol wacana kebebasan berekspressi di media.

RPLPP berdiri 23 Februari 2013 melalui sebuah diskusi kecil menandai peluncuran buku berjudul: Radio Melintas Zaman, di Pusat Kajian Anti Korupsi UGM. Seperti jamak pada lembaga sosial kritis lainnya yang tumbuh pasca reformasi 1998, lembaga ini memiliki tiga platform aksi: advokasi kebijakan terkait LPP, riset aksi untuk perubahan tata kelola LPP, yang disertai produksi pengetahuan, berupa: buku, booklet, website, dll.

Jejaring nasional dan internasional mulai berhasil dibangun antara lain masuk klaster Public Media Policy Working Group IAMCR yang beranggotakan ilmuwan media publik dunia dan Public Media Alliance (PMA) London: https://www.publicmediaalliance.org/ .

Berbeda dengan tipikal gerakan sosial pra-pasca Orde Baru yang berpola diametral terhadap negara dan pelaku media lama, RPLPP mengembangkan pola kerja kolaboratif-kritis. Ambil contoh, Bulan Penyiaran Publik (BPP) tahun 2017-2018 di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya kami lakukan bersama dengan/didukung oleh Dewan Pengawas dan Direksi RRI/TVRI Pusat.

Agenda lokakarya media publik, seminar, napak tilas situs bersejarah hingga penerbitan buku kami lakukan bersama. Kami ibarat frenemy, teman tapi juga ’musuh’ yang menjadi target agenda perubahan. Kolaborasi juga terjalin baik dengan tim ahli/drafter RUU RTRI di Komisi I DPR, dan akademisi Komunikasi Universitas Indonesia. Ini barangkali bisa terjadi karena RPLPP satu-satunya unsur masyarakat di sektor media publik.

RPLPP berangkat dari keyakinan bahwa setiap kebijakan dan implementasinya harus berbasis partisipasi publik dan transparansi informasi. Sejak didirikan hingga hari ini, para pegiatnya meyakini bahwa keberadaan suatu media dan jurnalisme publik yang sehat, profesional, independen adalah ciri negara yang sehat dan demokratis.

Media publik yang kuat berwibawa (seperti misalnya BBC Inggris, ABC Australia) adalah potret ruang publik termediasi yang memerankan pembawa citra negara (flag carrier). Pada era digital, keadaan ideal ini makin mendesak, ketika media jurnalisme konvensional yang setiap melayani hajat publik telah mengalami disrupsi, dilindas oleh disinformasi, dll.

Jika kondisi ideal semacam ini tidak manifes, maka demokrasi berbasis partisipasi deliberatif lewat media di suatu negara pasti sedang mati suri, bahkan tenggelam dalam demokrasi elit, tertutup.

Sepanjang 10 tahun ini, kami menerbitkan buku-buku yang cukup langka, karena mengupas isu penyiaran berbasis publik di Indonesia, misalnya dengan judul: (1) SAVE RRI dan TVRI, (2) Penyiaran Publik: Regulasi dan Kebijakan, (3) Tata Kelola Lembaga Penyiaran Publik Dunia.

Pada tahun 2018, bahkan kami membuat buku khusus yang memuat usulan publik untuk Rancangan UU Radio Televisi Republik Indonesia (RTIRI) yang sedang digodok di Komisi I DPR. Selain itu, serangkaian lobi dan kampanye publik dilakukan. Semua publikasi ini dapat diakses publik secara gratis melalaui kanal web di atas.

Menggandeng perguruan tinggi Komunikasi dan Dinas Kominfo Jawa Tengah, tahun 2021-2023 ini, RPLPP menggelar sekolah penyiaran publik bernama: Akademi Media Publik, suatu kursus daring yang terbuka umum, setara 3 SKS. Awalnya ditujukan untuk para professional di RRI dan TVRI, tetapi kemudian dibuka untuk pengelola LPP Lokal, radio komunitas dan para pegiat platform digital dengan konten kepublikan yang kuat.

Demi menjaga ‘usia muda’ organisasi ini, RPLPP juga merektur relawan yang notabene mahasiswa dari beragam disiplin ilmu di Yogyakarta, dan magang mahasiswa dari UI Jakarta. Semua ini menjadi penanda kecil bahwa RPLPP tidak terjebak pada jargon, semata riset, tetapi aksi nyata berbasis akademik, aktifisme, menajalani amanat perubahan, menjaga optimisme.

Bagi pegiat RPLPP yang mayoritas bermukim di Yogyakarta, ide lembaga penyiaran publik (public service broadcasting) di Indonesia adalah importasi dari tradisi di Eropa Barat yang a-historis. Ia memerlukan translasi berbasis kondisi empiris.

Posisi LPP di berbagai negara demokrasi adalah sebagai media utama, bukan alternatif sistem pers liberal yang dikuasai media industrial seperti di Indonesia. Kiblatnya antara lain Jerman dan Inggris. Meminjam Mouffe (1999), LPP bukan semata ‘demokrasi deliberatif’ tetapi ruang pluralitas demokrasi berpola agonistik. Masalahnya, di Indonesia hal ini tidak mudah.

Dalam kasus Indonesia, melalui keberadaan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran yang secara legal mengatur penyiaran publik, posisi RPLPP terhadap UU tidak bersifat afirmatif, apalagi akomodatif, tetapi justru kritis. Selain pengaturannya minimalis, ketentuan LPP pada regulasi ini cenderung abstrak, membuka peluang reduksi makna oleh regulasi dibawahnya. Dan inilah yang terjadi kemudian.

Seraya menjaga kewaspadaan terhadap penurunan kualitas regulasi, pegiat RPLPP aktif mendorong revisi regulasi, hingga penetapan UU khusus. Untuk itu kami mengelola grup WhatsApp khusus bernama ‘Menuju RTRI’. Akademisi, aktifis, pimpinan RRI, TVRI, broadcaster, birokrat dan mahasiswa bergabung.

Nah, apa ini Rumah Perubahan LPP? Seringkali publik mengira ini bagian dari lembaga yang dikelola Prof. Rheinald Kasali di Jawa Barat. Persepsi ini jelas keliru 180 derajat. Rumah Perubahan yang dikelola Prof. Kasali agaknya menyasar pengembangan wirausaha sosial, sedangkan RPLPP fokus ke gerakan sosial nirlaba untuk sektor media.

Kesaman keduanya terletak pada gagasan perubahan. Ya, kami mengusung perubahan kebijakan dan tata kelola LPP/LPPL di Indonesia. Artinya, tidak setuju romantisme mempertahankan kondisi sekarang, apalagi merawat imaji masa lalu. Perubahan adalah keniscayaan.

Filosofi ‘rumah’ dalam pola pikir aktifis RPLPP adalah: sebagai kantong gagasan, tempat melepas belenggu kerja-kerja mekanis di dunia media profesional, rumah pengetahuan media publik, data dan sukarelawan untuk media publik. Pegiatnya lintas profesi: dosen, jurnalis, aktifis sosial. Mereka tumbuh dalam tradisi intelektualisme dan aktifisme khas Yogya…

Deklarasi RPLPP di Pukat korupsi UGM tahun 2013 di atas sekaligus membawa pesan bahwa kampus harus turun, gerakan aktifisme harus semakin fokus, dan sikap anti-korupsi pada lembaga pemegang mandat LPP di Indonesia: RRI dan TVRI dapat menjadi pemersatu isu (common platform) aktifis sosial lintas disiplin.

Memasuki 2023, RPLPP lahir dan tumbuh dalam alam pikir keprihatinan kolektif atas berlangsungnya pemboncengan struktur media publik oleh anasir otoritarian melalui otoritas pendanaan dan kepegawaian. RPLPP menjawil berbagai lembaga nasional dan internasional yang pernah aktif mengkampanyekan pentingnya media publik di tahun 1990-an, untuk bergerak kembali.

Pada usia satu dekade ini, terdapat dua periode penting dalam kinerja RPLPP. Periode pertama: 2013-2018 sebagai periode konsolidasi, diwarnai pola pikir struktural: mendorong reformasi kelembagaan dan regulasi baru untuk RRI dan TVRI, menjalin relasi kuat dengan manajemen RRI, TVRI, Kementerian Kominfo.

Di periode ini, program lembaga memperoleh dukungan penuh dari Yayasan Tifa melalui skema Open Society Foundation.

Sebaliknya, periode kedua, 2019-2023 pola gerakan RPLPP mengalami perubahan akibat krisis pendanaan eksternal dan dengan cara beralih ke pendekatan kultural: melakukan pengarusutamaan isu LPP di publik lewat produksi pengetahuan, kursus dan asistensi lapangan ke pengelola LPP.

Meski krisis logistik, gaya gerakan ini justru selaras dengan alam pikir digital: penyiaran publik harus dilihat sebagai konten, bukan pada institusi-nya yang birokratis.

Memasuki ulang tahun ke-10, tantangan terberat bagi advokasi penyiaran publik di Indonesia adalah kondisi RRI dan TVRI yang semakin tidak pasti, juga kondisi serupa pada LPP lokal. Negara tidak hadir dalam mengupayakan hak publik atas konten berkualitas di media publik.

Pada lingkup regulasi, perumusan UU RTRI masih berpeluang, tetapi memerlukan waktu yang lama, dan pasca adanya revisi UU Penyiaran. Disrupsi digital melahirkan ruang baru bagi lahirnya media konten publik alternatif berbasis platform: konten sebagai hal utama.

Burri (2017) dan Harowitz (2020) menyebutnya sebagai public service broadcasting 3,0 dalam jaringan sosial digital. Namun, para pegiatnya harus diminta setia merawat jurnalisme publik yang makin tidak menentu pasca disinformasi dan hoax.

Perayaan 10 tahun kelahiran RPLPP pada bulan Maret 2023 nanti akan ditandai dengan suatu Semiloka Nasional masa depan LPP, penerbitan booklet Gerakan LPP di Indonesia, dll. Acara ini menandai loyalitas pegiat LPP pada pendekatan kultural, mengkombinasikan aktifisme dan intelektualisme.

Seperti ajaran Thomas Jefferson: pengetahuan adalah kekuatan utama setiap upaya merebut pengaruh (knowledge is power). Di tengah apatisme masyarakat akan media publik yang sehat, RPLPP ibarat semut kecil di padang pasir yang luas, nyaris tak terdengar, tapi tetap kelihatan dan penting.

Selamat memasuki 10 tahun kedua.

Salam Merdeka,
Masduki (Pendiri RPLPP)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.