Siapa yang menjadi tulang punggung LPP RRI di Indonesia? Anda boleh tidak percaya, jawabannya adalah sekira 2000 orang reporter Pegawai RRI Bukan PNS (PBPNS) RRI di seluruh Indonesia. Ya, mereka bukan PNS, tanpa tunjangan macam-macam, dan nasib kesejahteraannya masih dipertanyakan hingga saat ini. Mengapa bisa begini? Karena sejak hampir 20 tahun hingga kini, RRI tidak bisa menerima pegawai dengan status PNS lagi kata Hasto Kuncoro, Dewan Pengawas RRI. “Bahkan mereka ini (PBPNS), kemampuan dan profesionalismenya lebih dibanding yang teman-teman yang PNS. Itu harus diakui,” ungkap Hasto. Hasto melihat, meski PBPNS ini solusi, tapi ini hanya sementara. Menurutnya PBPNS adalah tunas generasi penerus RRI masa depan yang harus diperjuangkan di UU RTRI.
“Mereka (PBPNS) ada di perbatasan, ada di pelosok indonesia, bekerja untuk keutuhan NKRI,” Kata Hasto
Jika dihitung, sisa PNS yang ada di RRI, menurut Hasto, sekira 10 tahun lagi akan pensiun semua. Praktis tidak ada lagi PNS, yang menurut peraturan perundangan, yang bisa menggunakan anggaran. Hanya PNS yang bisa menggunakan anggaran negara. Jika sudah seperti itu, tentu RRI bakal menjadi sejarah.
Hasto menyampaikan masalah itu saat menjadi pembicara dalam Diskusi Publik RUU RTRI versi Publik pada 26 April 2017 di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Diskusi yang diselenggarakan atas kerjasama Ilmu Komunikasi UNY dan RPLPP ini berharap dapat mengumpulkan banyak aspirasi dan dukungan publik untuk mendorong DPR RI segera mengesahkan RUU RTRI. Nantinya, aspirasi ini akan dapat dirangkum dalam pokok-pokok pikiran RUU RTRI versi publik sehingga nanti bisa diakomodasi oleh DPR, “sehingga kita punya masa depan LPP yang kuat, independen, dan profesional,” kata Darmanto, Manajer Program RPLPP 2017. Pengesahan RUU ini menjadi sangat vital apalagi bila melihat sebentar lagi tahun pemilu 2019 akan tiba. “Kita (sebagai publik) ingin tinggalkan suasana media tahun 2014 (yang partisan), dan itu hanya mungkin kalau kita punya RTRI yang kuat independen, dan profesional dengan disahkannya RUU RTRI,” harap Darmanto lagi.
Harapan Publik: dari multiplekser hingga SDM
Hasto memaparkan, di RRI Jogja, sudah membahas kesiapan RTRI menjadi penyelenggara multiplekser. “Nah ini yang penting dukungan dari publik, karena multiplekser, frekuensi itu kan ranah publik, jangan sampe kita masuk ranah digitalisasi, justru kanal-kanal itu dikuasai dimonopoli pihak tertentu,” harap Hasto kemudian. Kata Hasto melanjutkan, DPR akan mempercayakan penyelenggaraan multiplekser ini ke RTRI. “Ini yang harus kita perjuangkan, meskipun menurut Pak Kharis (Komisi I DPR RI) tantangannya banyak, semua menginginkan menjadi penyelenggara multiplekser,” sambungnya.
Wendratama, Peneliti PR2Media, berpendapat, “Jika misalnya ingin menjadi multiplekser tunggal yang artinya kemudian nanti RTRI juga memberikan kanal bagi LPS, ini ada fungsi komersial yang sangat besar.” Ada perubahan pola dan fungsi yang sangat drastis dari,”RRI dan TVRI yang selama ini bukan lembaga komersial, akan mengemban misi komersial, akan mengakomodasi kepentingan-kepentingan komersial, saya pikir menjadi PR yang sangat besar ini,” papar Wendra khawatir.
Hasto juga menyinggung tentang independensi RTRI. “Persoalannya dari RRI bertanya wujudnya seperti apa. status kelembagaannya seperti apa ini yang juga belum final. kami mengusulkan karena RTRI ni representasi dari Negara, kami mengusulkan ya lembaga negara,” kata Hasto. Sedangkan, menurut Hasto, ada persoalan bahwa lembaga negara harus termaktub dalam UUD45, “kita menuntut seperti tiu tidak bisa, karena tidak bisa masuk dalam konstitusi.”
Dyna Herlina, Dosen Ilmu Komunikasi UNY, mengatakan bahwa memang sulit menjadikan LPP seperti LPS, “kalau kami paling tidak, mari kita bersama-sama berpikir agar kedepan LPP ini bener-bener bisa menjadi intelect people, pencerah publik.”
Dyna menambahkan bahwa tantangan membentuk LPP sebagai pencerah bangsa adalah,”bagaimana mengemas acara itu menarik bagi pendengarnya,” dan, “saya termasuk orang yang sering mengompori temen-temen pemberitaan. Kamu harus bikin isu yang jangan hanya follower jadi sering kali ada pemberitaan di kita itu menggoreng isu-isu yang sudah digoreng berita lain,” jelas Dyna.
Dyna mengharapkan pemberitaan RRI dan TVRI menjadi trendsetter, sehingga ada isu yang agenda setting-nya dari LPP, “ini boleh jadi isu yang tidak elitis. Mungkin harga pupuk yang mahal, harga cabe yang gak karuan. Jangan hanya ngikut media mainstream,” ungkap Dyna.
Sedangkan Masduki, narasumber yang kini sedang menempuh studi doktoral (perbandingan LPP dunia) di Jerman, mengatakan repotnya LPP ini karena puluhan tahun terbiasa dengan sumber dana APBN, “jadi lagi-lagi problemnya tentang tata kelola, ini bukan soal aturan main yang normatif, yang sudah ada itu di UU 32,” kata Masduki.
Menurut Masduki ada 3 hal yang harus dibenahi dari LPP (RRI dan TVRI). Pertama, soal konten. Direksi harus hanya fokus pada konten. Konten atau isi siaran LPP tidak banyak menarik publik karena tidak berorientasi pada khalayak, “Seminggu kadang masih muncul berita dari 1 tempat, ya ditinggalkan oleh publiknya,” ungkap Masduki.
Kedua, public engagement. “Makanya kalau kemudian misalnya ini gagasan ada dibentuk dewan khalayak itu bisa dibentuk di RTRI, maka kita akan lebih banyak engagement (menarik) publik, ” tambah Masduki.
Ketiga adalah akuntabilitas. Bagaimana RRI TVRI mau dipercaya publik kalau tidak terbuka. “saya ditunjukin di BBC sekitar 6-7 bulan yang lalu kepada praktisi itu mereka tahu persis semua ,sebagai staf, tahu gaji pimpinannya, pengeluaran, pemasukan anggaran, itu soal kecil sebetulnya kan transparansi di dalam, belum lagi ke publiknya, ” ungkap Masduki. Jadi yang harus dibenahi adalah public content, public engangement, lalu public accountability.