​Seberapa jauh pemahaman publik soal penyiaran publik? Seberapa aktif publik mendukung penyiaran publik yang sehat lewat RUU RTRI? Guna menjawab itu, Prodi ilmu komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, bekerjasama dengan Rumah Perubahan LPP (RPLPP) menghelat diskusi tentang penyiaran publik di Indonesia. Diskusi ini membawa tajuk mendorong pengesahan ‘RUU RTRI versi Publik’ untuk publik agar LPP berubah menjadi kuat, independen, dan profesional.
Dalam diskusi pada 13 Mei 2017 tersebut, Darmanto, Manajer Program RPLPP, mengatakan bahwa melakukan perubahan internal di RRI dan TVRI sama sulitnya dengan mengayakan diskursus LPP di perguruan tinggi. Ambil contoh, RPLPP telah melakukan riset di dalam tubuh LPP pada 2015 dan 2016, dan ini yang menunjukkan hal itu. TVRI masih relatif tertutup ketika dimintai data untuk melengkapi riset yang dilakukan LPP soal audit LPP pada 2015.
Senada dengan Darmanto, Irfan Wahyudi, salah satu dosen di Prodi Ilmu Komunikasi Unair, pada diskusi itu juga menguatkan bahwa memang perhatian mahasiswa dan perguruan tinggi terhadap LPP RRI dan TVRI sangat kurang. Namun itu juga disebabkan faktor institusi LPP.
Irfan mengungkapkan testimoni mahasiswanya yang kebingungan saat magang di LPP. “Kerja apa? Katanya karena kekurangan pekerjaan saat magang di LPP.”
Mudjianto, wakil dari TVRI Jawa Timur, menjawabnya. Menurut pria yang lebih akrab disapa Mugabe, ini ketika mahasiswa magang di LPP, mahasiswa tersebut banyak bingung ketika ditugaskan, karena beberapa dari mereka tidak sesuai konsentrasi keilmuannya dengan jurnalisme.
Yayan Sakti dalam kesempatan itu turut menanggapi. Ketua Jurusan Komunikasi, Universitas Airlangga, ini ingin kini kampus tidak gagap pada dinamika LPP. “Mohon RRI & TVRI beri ruang pada kampus untuk produksi program karena kampus tak lagi menara gading, gratis!”
Diskusi tentang penyiaran publik ini menjadi yang pertama dilakukan oleh lingkungan akademisi di Jawa Timur. Beberapa peserta juga berasal dari akademisi dan mahasiswa. Misalnya dari IAIN Tulungagung, Universitas Trunojoyo Madura, dan kampus lainnya.
Suko Widodo, akademisi senior Komunikasi Unair, ini juga urun pendapat agar kita, sebagai publik, pemilik LPP bisa belajar bersama tentang penyiaran publik. “Jika tak ada media publik, tak ada indonesia,” papar Suko Widodo kemudian.
“Kami juga minta dukungan teman-teman mahasiswa dan dosen agar RUU RTRI segera disahkan, agar kami bisa menyuguhkan siaran yg berkualitas,” sambung Yusridarto, dari RRI Surabaya, berharap, sekaligus menjawab Darmanto.
Yusridarto mengemukakan alasan publik harus gunakan penyiaran publik sebagai medianya. Menurutnya sebab media yang lain menebar kerancuan. Sedangkan LPP mengedukasi. Lalu apa manfaat lain RTRI bagi masyarakat? Mudjianto menegaskan bahwa dalam LPP ada jaminan validitas informasi, ruang publik yang luas, dan penguatan demokrasi.
Publik punya harapan besar pada LPP. “Tidak cuma pada kemasan, program, tapi juga jangkauan. Ada keragaman saluran. Belajar Pengalaman ABC di Australia,” kata Irfan.
Media swasta kini dianggap tidak sehat karena kerap dimanfaatkan pemilik media. Ini dibuktikan dalam penelitian Masyarakat Peduli Media pada pemilu 2014 lalu. Penelitian yang dikemas dalam buku Media Terpenjara: Bayang-bayang Pemilik Media dalam Pemilu 2014 ini mencatat bahwa tidak ada media yang independen dari pemilik atau partpol pada 2014 lalu.
“Mari kita menjaga marwah RRI dan TVRI sebagai media rujukan alternatifrnatif dan sehat,” kata salah satu peserta dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya. Menurutnya, publik harus menyiapkan agar RRI & TVRI menjadi media yang sehat, dan itu masuk dalam RUU RTRI.
Mengakhiri diskusi, Darmanto menutup dengan sebuah seruan, “sudah saatnya kampus turun gunung, jangan biarkan LPP ini lemas lunglai. Karena ia adalah hak publik untuk berkomunikasi.” (A.P Wicaksono)