Mengapa RUU Penyiaran Layak Ditolak?

Oleh : Darmanto[1]

Selama Mei 2024 tidak terbendung munculnya polemik tentang RUU Penyiaran. Berbagai elemen masyarakat, terutama yang menaruh perhatian pada isu demokrasi, dengan gigih melakukan penolakan terhadap RUU Penyiaran Usul Inisiatif DPR RI. Artikel ini bermaksud memberikan gambaran kepada masyarakat luas mengenai alasan mengapa RUU Penyiaran tersebut layak untuk ditolak.

Saat ini ada dua versi RUU Penyiaran yang beredar di masyarakat dan menjadi bahan perbincangan. Pertama, RUU versi Oktober 2023 terdiri dari 14 Bab dan 149 Pasal, sedangkan yang kedua adalah versi 27 Maret 2024 yang merupakan bentuk perubahan dari RUU versi 2023 sehingga hanya memuat pasal-pasal tertentu yang diubah beserta hasil perubahannya. Dalam kedua versi RUU, larangan bagi lembaga penyiaran untuk  menayangkan jurnalistik investigasi masih tercantum. Padahal ketentuan mengenai hal itulah yang pertama-tama memincu polemik karena berpotensi memberangus kebebasan pers.

Selain larangan menyiarkan karya jurnalistik investigasi, terdapat sejumlah masalah serius dalam RUU Penyiaran. Namun, mengingat keterbatasan ruang, artikel ini hanya akan membahas empat hal yang sifatnya makro. Pertama, secara paradigmatik, RUU ini berlawanan dengan sistem demokrasi dan menarik mundur ke sistem otoritarian dalam wajah baru (new authori­tarian). Semangat demokratisasi dalam UU Penyiaran 2002 yang ditandai dengan hadirnya Lembaga Penyiaran Publik (LPP) baik di level nasional (RRI dan TVRI) maupun Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL), pembentukan Lembaga Penyiaran Komunitas, dan pembentukan regulator independen bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seolah tetap dipertahankan. Akan tetapi, secara hakiki mengalami penurunan kelas (down-grade) sehingga kewenangannya menjadi minimalis.

Kedua,  RUU menegasikan keberadaan Pancasila sebagai Dasar Negara. Hal itu terlihat dari tidak disebutkannya Pancasila pada bagian konsideran maupun pasal terkait dengan dasar penyele­ngga­­raan penyiaran. Kata Pancasila hanya muncul di pasal pengaturan persyaratan untuk menjadi Komisioner KPI. Secara substantial ketentuan itu hanya merupakan salin tempel dari apa yang ada di UU Penyiaran 2002. Artinya, tidak ada kesadaran yang muncul dari perumus RUU Penyiaran untuk menempatkan Pancasila sebagai sumber nilai dalam penyelenggaraan penyiaran nasional.

Ketiga, RUU Penyiaran merupakan wujud legitimasi dari praktik penyelenggaraan penyiaran yang toksik (toxic) selama ini. Contoh, peran KPI yang menurut UU 32/2002 cukup strategis, tetapi mengalami pelemahan sehingga hanya bermain di aspek pengawasan isi siaran, maka RUU kali ini mempertegas fungsi tersebut menjadi satu-satunya kewenangan yang bakal dimiliki KPI. Pada sisi lain, kelembagaan KPI diperkuat dan masa kerjanya diubah menjadi 4 tahun sebagai jawaban atas keluh kesah para komisioner selama ini. RUU ini juga melegitimasi harapan orang-orang RRI dan TVRI agar posisi LPP dijadikan sebagai lembaga penyiaran negara sehingga tidak perlu pusing memikirkan sumber pembiayaan, kepastian masa depan kepegawaian, dan penguatan posisi Dewan Direksi agar tidak mudah digoyang oleh Dewan Pengawas. Namun, kalau LPP kemudian dinyatakan sebagai lembaga negara hal itu bertentangan dengan sistem demokrasi.

Keempat, RUU Penyiaran mencampuradukkan urusan penyiaran dengan platform digital. Padahal keduanya adalah rezim yang sangat berbeda. Penyelenggara penyiaran harus mendapatkan izin terlebih dahulu untuk bisa memperoleh saluran, dan sekaligus bertanggung jawab untuk mengisi konten pada saluran yang dimiliki. Adapun penyelenggara platform hanya menyediakan saluran, sedangkan konten dapat diisi oleh siapa pun baik individu maupun organisasi. Pengisi konten platform tidak perlu mengantongi izin terlebih dahulu dari pemilik saluran.  Misal, pengguna YouTube tidak perlu menunggu izin dari Steve Chen dan kawan-kawan. Begitu juga pengguna Facebook, tanpa izin dari Mark Zuckerberg tetap bisa mengunggah konten.

Berdasarkan argumentasi di atas, RUU Penyiaran ini memang layak ditolak. Apalagi masa kerja DPR periode 2019-2024 kurang dari 6 bulan dan anggota DPR periode berikutnya sudah terpilih sehingga tidak etis kalau melanjutkan pembahasan.

 

[1] DARMANTO Peneliti pada Pusat Riset Kebijakan Publik (PRKP) BRIN dan Program Manager di Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP)

Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat oleh Kedaulatan Rakyat, tanggal 3 Juni 2024

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.