Perdebatan bagaimana mengatur konten jurnalistik di media digital menjadi hangat belakangan ini menyusul keluarnya draf RUU Penyiaran versi badan legislatif DPR. Pasal 50B ayat (2) huruf c dalam draf itu menyebutkan, …kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat larangan mengenai: …c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pasal 50B ayat (2) huruf c ini dinilai insan pers bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Pasal ini beresiko mengerdilkan peran pers sebagai alat kontrol atas kekuasaan dan mengarah kepada apa yang disebut Victor Pikard (2019) sebagai democracy without journalism. Tulisan ini tidak akan fokus pada debat terkait usulan pasal kontroversial tersebut, akan tetapi mengajak memahami diskursus pola pikir atas kegiatan dan siaran jurnalistik di seluruh dunia termasuk di Indonesia yang melatarbelakangi bagaimana pendekatan dan pilihan norma pengaturannya.
Perspektif konten jurnalistik
Terdapat tiga perspektif dalam melihat posisi, kegiatan dan konten jurnalisme di ruang publik. Pertama, dalam iklim media pers yang liberalistik, konten jurnalistik adalah consumer good, karenanya berlaku hukum pasar kompetisi produksi berita secara terbuka. Jurnalistik tidak ubahnya barang komoditas biasa, yang diproduksi lalu diperjualbelikan, tanpa adanya peran dan ketentuan etis yang mengacu kepada kepentingan publik. Di ruang digital, aktivitas dan konten jurnalistik mengacu kepada logika algoritma untuk mencapai standar viralitas (click bait), bukan kualitas apalagi kebutuhan publik. Fungsi kontrol kekuasaan dari media pers siber tidak murni karena berkelindan dengan misi bisnis.
Kedua, dalam budaya politik yang otoritarian ketika media pers terkooptasi oleh aktor politik, pemilik partai atau pemerintah, konten dan aktivitas jurnalistik dapat berposisi sebagai political good. Selain melaksanakan kontrol atas kekuasaan melalui kerja investigasi, konten berita kerapkali dipakai sebagai alat menyerang lawan politik. Ini merupakan resiko dari intensitas intervensi pemilik media cum-politisi atas meja redaksi. Perspektif ketiga melihat siaran jurnalistik sebagai public good, suatu asumsi ideal bahwa jurnalistik bekerja untuk memenuhi hak publik atas informasi. Investigasi yang membongkar kekuasaan koruptif akan menjadi sumberdaya masyarakat dalam merumuskan pilihan politik.
Kontroversi yang muncul atas gagasan pelarangan konten investigasi berkelindan dari perbedaan titik pijak atas pendekatan ini. Konteks peristiwa politik Pilpres 2019 hingga 2024 memunculkan beragam pandangan atas posisi dan kontribusi jurnalisme dalam demokrasi elektoral. Brutalnya praktek disinformasi politik di ranah digital membuat produk jurnalistik menjadi keruh (Blur, 2011) –meminjam Bill Kovach dan Tom Rosensteil. Di sisi lain, konten jurnalistik digital yang mengafirmasi tradisi media konvensional, misalnya Bocor Alus justru memberi tekanan lebih keras tingkah polah politisi busuk. Dalam situasi yang panik, politisi pembuat regulasi tidak mampu membedakan antara merebaknya disinformasi politik sebagai residu percakapan digital dengan investigasi sebagai public good. Mereka memposisikan jurnalisme investigasi sebagai semata political good.
Model pengaturan kolaboratif
Berangkat dari ketiga pendekatan di atas, berbagai negara demokrasi mengatur agar jurnalisme tetap pada jalurnya sebagai public good. Pengaturan tidak semata pada proteksi agar jurnalisme investigasi tetap mendapat ruang yang memadai di ranah digital, tetapi agar media berita dan platform digital saling berkolaborasi menjaga hak publik atas informasi yang berkualitas. Dalam hal ini, UU Pers, Penyiaran, dan ketentuan publisher right harus berada dalam satu misi proteksi kebebasan pers dan keberlanjutannya. Selain memastikan hak publik terlayani oleh jurnalisme investigasi di ranah digital, pelarangan atas kepemilikan media pers oleh politisi menjadi sangat urgen agar kredibilitas media terjaga.
Spektrum kebijakan terkait media pers di dunia menganut dua rezim klasik. Yaitu public regulation dan self-regulation, dan dipadukan dengan model collaborative regulation mengingat ekosistemnya bersifat global, melibatkan korporasi digital transnasional. Model public regulation mengasumsikan bahwa praktek komunikasi siaran jurnalistik yang memakai frekuensi sebagai ranah publik harus melibatkan otoritas independen atas nama pemerintah dan publik selaku regulator. Model ini berangkat dari norma infrastruktur penyiaran sebagai kekayaan publik di satu sisi dan menuntut media menjaga kontennya agar selaras dengan hak publik disisi lain. Dalam praktek di negara-negara demokrasi maju dan negara pasca otoriter, penerjemahan diksi publik tidak mengacu pada pemerintah tetapi lembaga independen seperti Ofcom di Inggris dan KPI atau Dewan Pers di Indonesia.
Sementara itu model self-regulation memberikan ruang otonomi kepada media pers atau individu jurnalis, terutama yang berkaitan isi berita dan etik (non-infrastruktur) untuk mengatur dirinya sendiri. Nah, siaran jurnalistik sebagai public good, membutuhkan kerangka pikir self-regulation yang ketat, sebab intervensi pemerintah lewat model public regulation yang melampaui infrastruktur dapat beresiko pembatasan informasi. Ke depan ketika platform digital menjadi ruang publik, collaborative regulation adalah pendekatan alternatif guna menegosiasikan kepentingan pers, negara dan platform digital.
Dalam konteks di Indonesia, pengaturan terkait jurnalistik sebetulnya berada di dua ranah regulasi: UU Pers dan UU Penyiaran. UU Pers mengacu sepenuhnya pada rezim bahwa jurnalistik adalah public good dan karenanya ketentuan lebih lanjut dimandatkan pada komunitas pers melalui Dewan Pers sebagai moda self-regulation. Sedangkan UU Penyiaran No. 32/2002 tidak perlu mengatur konten jurnalistik secara mendetail karena hal ini ranah UU Pers. Akhirnya, semua pihak harus menyadari bahwa kebebasan pers melalui jurnalisme yang memeriksa kekuasaan (investigasi) adalah amanat reformasi yang menghapus intervensi otoritas politik kepada media pers. Gagasan pelarangan jurnalistik investigasi dalam RUU Penyiaran adalah langkah berbahaya. Selain melawan ketentuan UU Pers, juga mengkhianati norma jurnalisme sebagai public good dan pilar demokrasi.
Penulis: Masduki
Guru Besar Kajian Media dan Jurnalisme, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan Dewan Pendiri Rumah Perubahan LPP, RI.
Tulisan ini pernah diimuat sebelumnya di Kompas edisi Senin, 27 Mei 2024. Dimuat kembali untuk kepentingan nonkomersil, edukasi, dan advokasi demokratisasi media.
Lisensi Gambar: Creative Common