Oleh: Agus Sudibyo
JAKARTA, KOMPAS – Melalui Rancangan Undang-Undang Radio-Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI), saat ini sedang digodok upaya penyatuan TVRI dan RRI. Regulasi penyatuan dua institusi ini menjadi prioritas legislasi DPR tahun 2015.
Pihak-pihak yang mewakili TVRI, RRI, dan masyarakat sipil juga tengah membahas opsi status kelembagaan, struktur organisasi, desain operasionalisasi, dan pendanaan RTRI.
Penyatuan TVRI dan RRI adalah gagasan yang masuk akal. Demi efisien anggaran, restrukturisasi kelembagaan dan penguatan kinerja lembaga penyiaran publik, dua lembaga itu layak untuk dilebur. Namun, pertanyaannya kemudian, dapatkah dipastikan UU RTRI akan benar- benar memperkuat kedudukan lembaga penyiaran publik di Indonesia? Apa kondisi politik faktual di DPR dan pemerintah telah kondusif bagi upaya perwujudan lembaga penyiaran publik yang independen dan melayani kepentingan publik?
Lembaga negara atau lembaga pemerintah?
Sebagai titik tolak, mari kita simak rumusan TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik dalam UU No 32/2002 berikut ini: “lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat”.
Didirikan negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan melayani kepentingan masyarakat! Di sinilah pokok masalah pelembagaan TVRI dan RRI sejauh ini. Berbagai pihak belum dapat memahami esensi dari prinsip-prinsip yang sekilas bertolak belakang itu. Didirikan negara, tetapi independen dan netral, bagaimana mewujudkan?
RRI dan TVRI tidak komersial, berarti tidak leluasa menerima iklan dan sponsorship layaknya media penyiaran swasta. Padahal, semua orang tahu media penyiaran adalah bisnis yang padat modal. Dari mana modal TVRI dan RRI? Dari anggaran negara, APBN. Jika dari APBN, bagaimana RRI dan TVRI bisa independen?
UU Penyiaran No 32/2002 lahir dari semangat reformasi tata kelola pemerintahan dan dilandasi perspektif demokrasi dalam pengelolaan sumber-sumber daya publik. Dalam perspektif ini, negara dengan berbagai institusinya, pertama-tama, adalah representasi masyarakat. Lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif hadir untuk mewakili dan melayani kepentingan masyarakat, dan bukan melayani kepentingan partikular pejabat publik. APBN ditempatkan sebagai dana publik yang harus dikelola untuk kepentingan masyarakat, dan bukannya dana milik pemerintah.
Dalam konteks inilah dimungkinkan untuk melembagakan TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik yang didirikan dan dibiayai negara, tetapi tetap independen, netral, dan melayani masyarakat. Persoalannya, sebagian besar dari masyarakat dan kalangan pemerintah pada umumnya telanjur beranggapan bahwa lembaga yang didirikan atau dibiayai oleh negara sudah semestinya berpihak kepada kepentingan negara dan oleh karena itu independensi dan netralitas menjadi tidak masuk akal. Kepentingan negara dalam konteks ini hampir selalu disempitkan menjadi kepentingan pemerintah yang berkuasa.
Menggunakan APBN dianggap sama artinya dengan menggunakan uang pemerintah, dengan konsekuensi pemerintah berhak melakukan intervensi. Hal inilah yang terjadi dengan TVRI dan RRI sejauh ini. Masih kuat pemahaman bahwa APBN yang dialokasikan untuk TVRI dan RRI adalah dana pemerintah, bukan dalam pengertian dana publik. Maka, terus muncul tuntutan agar TVRI dan RRI senantiasa berpihak kepada kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Tuntutan agar TVRI menyiarkan acara Konvensi Partai Demokrat tahun lalu menunjukkan hal ini. Demikian juga tuntutan agar TVRI dan RRI menyiarkan kegiatan-kegiatan pemerintah tanpa melihat nilai beritanya.
Dengan kata lain, belum terjadi perubahan cara pandang terhadap status TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran, serta dalam melihat pengelolaan APBN sebagai dana publik. Sayangnya, hal yang sama juga masih bertahan di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat masih melihat TVRI dan RRI sebagai media “pelat merah” sehingga wajar jika keduanya cenderung menyuarakan kepentingan-kepentingan pemerintah. Memori tentang TVRI dan RRI sebagai sarana politik propaganda politik pemerintah pada era Orde Lama dan Orde Baru masih membekas kuat dalam benak masyarakat.
Intervensi politik
Perubahan cara pandang kalangan pemerintah terhadap posisi TVRI dan RRI adalah syarat utama jika kita ingin memperkuat pelembagaan penyiaran publik di Indonesia. Tanpa menyelesaikan persoalan ini, semua upaya merevitalisasi TVRI dan RRI, termasuk dengan RUU RTRI, akan jatuh pada kondisi yang sama: rasa memiliki pemerintah yang berlebihan terhadap lembaga-lembaga yang didirikan atau didanai negara sehingga melanggengkan cara pandang hierarkis-struktural plus sikap yang intervensionis.
Perlu dicatat, cara pandang hierarkis-struktural itu juga terjadi di DPR. Hal ihwalnya adalah fungsi legislasi, politik anggaran dan pengawasan atas kinerja TVRI dan RRI menjadi kewenangan DPR. Dewan Pengawas TVRI dan RRI juga dipilih oleh DPR. Maka, sebagian partai politik dan politisi Senayan juga terjangkiti sindrom “rasa memiliki” yang berlebihan terhadap TVRI dan RRI.
Beberapa tahun belakangan, rasa memiliki itu juga diekspresikan dalam sikap intervensionis terhadap TVRI dan RRI. Beberapa partai politik atau politisi yang merasa berkontribusi dalam politik anggaran TVRI dan RRI merasa layak mendapatkan privilese dalam pemilihan Dewan Pengawas dan (secara tidak langsung) Dewan Direksi TVRI dan RRI. Selanjutnya, mereka juga berpikir untuk mendapatkan keuntungan dari proyek pembangunan, pengadaan barang TVRI dan RRI, serta dari kebijakan redaksi.
Perlu digarisbawahi, aset dan pengaruh TVRI dan RRI, bagaimanapun, masih menggiurkan. TVRI Pusat berdiri di atas lahan yang sangat luas, strategis, dan amat potensial dialihkelolakan ke pihak swasta untuk proyek komersial, sebagaimana lahan bekas Taman Ria Senayan di sebelahnya. Wacana tukar guling lahan TVRI sempat mengemuka pada DPR periode lalu.
Dengan mempertimbangkan konteks politik yang demikian ini, gagasan penyatuan RRI dan TVRI seperti pedang bermata dua. Gagasan ini adalah peluang yang baik untuk memperkuat eksistensi lembaga penyiaran publik di Indonesia. Namun, gagasan itu juga berpotensi melemahkan lembaga penyiaran publik jika yang menonjol dalam UU RTRI ternyata adalah penguatan wewenang DPR atau pemerintah dalam mengontrol segi-segi kelembagaan dan operasionalisasi TVRI dan RRI. Seperti kata sebuah adagium, “jika sudah memasuki ranah politik, segala sesuatu bisa terjadi”.
Agus Sudibyo
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Juni 2015 dengan judul “Beban Politik TVRI-RRI“.