Lembaga Penyiaran Publik Masa Depan harus menjadi pendorong tren dan menjadi memori arsip platform

Lembaga Penyiaran Publik Masa Depan harus menjadi pendorong tren, terintegrasi dan menjadi memori arsip platform (Paulus Widiyanto)

Dalam rangka memperingati satu dekade berdirinya Lembaga Penyiaran Publik, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) bekerja sama dengan Departemen Ilmu Komunikasi UII menyelenggarakan diskusi bertajuk “Masa Depan Lembaga Penyiaran Publik” pada hari Jumat, 10 Februari 2023 bertempat di Kafe Ra Kopiran, Yogyakarta.

Diskusi ini membahas isu-isu yang kompleks di Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Mulai dari pendanaan, regulasi, hingga independensi LPP itu sendiri.

LPP adalah lembaga penyiaran yang berbadan hukum yang didirikan oleh negara yang bersifat independen, netral, dan tidak komersial. LPP memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat, seperti TVRI, RRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL).

Permasalahan yang dialami oleh LPP, khususnya LPPL terungkap dalam diskusi kali ini. Darmanto, pendiri Rumah Perubahan, mengatakan bahwa jika ada sengketa diskriminasi di daerah, terutama mengenai perizinan dan pendanaan, harus segera diselesaikan.

“Yang berbeda adalah LPPL, disertasi saya tentang LPPL itu kondisinya kompleks. Yang paling kentara adalah LPPL mengalami diskriminasi. Dari proses perizinannya sama dengan swasta, sementara RRI dan TVRI tidak. Keduanya memiliki beban regulasi yang berat,” jelas Darmanto membuka diskusi.

Menurutnya, masalah ini akan berdampak pada masyarakat yang akan kehilangan panduan referensi utama. Sehingga diperlukan skema baru untuk Lembaga Penyiaran Publik yang kuat.

“Masyarakat kehilangan panduan referensi utama. Kita butuh skema baru untuk membuat Lembaga Penyiaran Publik lebih kuat. Saya melihat kekuatan netizen yang dangkal, penuh amarah menghancurkan demokrasi itu sendiri,” tambahnya.

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Dosen Ilmu Komunikasi UII yang juga pendiri RPLPP Masduki, dikatakan bahwa memasuki usia ke-10 tahun, tantangan terberat advokasi penyiaran publik di Indonesia adalah kondisi RRI dan TVRI yang semakin tidak menentu, begitu pula dengan kondisi LPP lokal. Hal ini terjadi karena negara tidak hadir dalam mengupayakan hak-hak publik atas konten yang berkualitas di media publik.
Gagasan dan upaya penyelesaian masalah

Beberapa gagasan yang muncul dalam diskusi siang itu mendorong beberapa praktisi LPPL untuk mengeluarkan aspirasinya menyuarakan kendala-kendala yang mereka hadapi dan mulai merumuskan strategi.

Konten
Salah satunya adalah Alan Kosdana dari Batik TV Pekalongan. Ia mengatakan bahwa netizen di Indonesia sangat “adidaya”. Di tempatnya bekerja, Batik TV merupakan media milik agensi yang kini terus berinovasi untuk tetap bertahan.

“Di mana positioning Batik TV? Batik tv selain pelayanan, harus menjaga marwah. Mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri dengan pasar, karena itu adalah sebuah pengingkaran tanpa model bisnis yang jelas. Tujuan dari kebutuhan masyarakat adalah keterbukaan dari masyarakat,”

“Netizen adalah kekuatan super. Secara taktis, kami selalu memiliki program yang dekat dengan masyarakat di 6 kota di daerah. Biar kami bisa dekat dengan masyarakat,”

“Konvergensi media sama dengan konvergensi nilai. Namun seringkali nilai tidak terkonvergensi. Kebutuhan masyarakat terpenuhi,” katanya.

Paulus Widyanto juga menyinggung masa depan LPP yang harus menjadi motor penggerak.
“Masa depan Lembaga Penyiaran Publik harus menjadi penerbit terbaik, pendorong tren, terintegrasi, memori arsip platform.”

Regulasi
Dewi Hernuningsih juga menyuarakan isu politisasi yang terjadi dalam kepengurusan dan menghambat kinerja LPP yang independen dan netral.

“Dalam pemilihan Dewan Pengawas oleh DPR, ada nuansa politisasi dalam pemilihan itu,”.
“Seharusnya ada pengawasan, politisasi sudah ada sejak saat itu, proses uji kompetensi, termasuk uji kelayakan. Saya merasa itu kondisi politisasi,”

“Saya ingin menyampaikan bahwa seharusnya kita saling mendukung, bahkan bisa saling menjatuhkan kalau tidak punya hubungan dan komunikasi yang baik. Karena mereka merasa bisa melakukan apa saja.”
Ia mengatakan bahwa politisasi menjadi sumber konflik, sehingga muncul paradoks Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dalam struktur organisasi karena Dewan Pengawas berada di posisi tertinggi, yaitu mengawasi dan menentukan.

Masduki juga menyebutkan bahwa hal tersebut memang diperlukan.
“Indonesia membutuhkan lembaga yang benar-benar pro kepada publik, dalam hal ini media. Kita dihadapkan pada persoalan yang kompleks, yang dikuasai oleh swasta.”

“Sekarang dikuasai oleh penumpang gelap digital, dan kita menghadapi krisis literasi, krisis media secara sehat. Rumah perubahan sejak awal didasarkan pada ideologi struktural. Bahwa pemerintah harus hadir. Masyarakat di Indonesia cenderung tidak berdaya.”

“Di mana negara harus memberikan dukungan undang-undang khusus, negara memfasilitasi dana publik. Sekarang persaingan pasar sudah terbuka.”

“Kami fokus pada transformasi kelembagaan, transformasi pola pikir, dan platform digital. Kami memiliki modal sosial.”

 

 


Tulisan ini telah dimodifikasi dan pernah dimuat sebelumnya oleh Prodi Komunikasi UII di laman communication.uii.ac.id Dimuat ulang di web ini sebagai bentuk apresiasi, pengarsipan, dokumentasi dan edukasi.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.