Penulis: Ambar Firda Nur’Aini
Yogyakarta – Sudah 8 (delapan) bulan berlalu sejak ditetapkannya Rancangan Undang-Undang tentang Radio Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI) pada 9 Pebruari 2015 lalu oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI). Tahun 2015 telah sampai di bulan kesepuluh dan hanya tersisa 2 (dua) bulan sampai pergantian tahun, tetapi belum ada tanda-tanda RUU RTRI masuk tahap pembahasan oleh DPR RI dan Pemerintah. Oleh karena itu, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) bekerjasama dengan Yayasan Tifa melakukan“Kampanye dan Advokasi Pembahasan dan Penetapan RUU RTRI Berbasi Masyarakat Sipil” sebagai upaya untuk mendorong percepatan pembahasan RUU RTRI oleh DPR RI dan Pemerintah.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada Senin (19/10) RPLPP berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan beberapa angkasawan/angkasawati Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta di Jalan Ahmad Jazuli, Kotabaru seputar RUU RTRI. Berikut petikan wawancara dengan reporter senior di RRI Jogja, Bambang Sulaksono BS).
T : Bagaimana tanggapan Bapak terhadap Rancangan Undang-Undang Radio Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI)?
BS : Sebagai angkasawan RRI, saya saya sepakat dengan adanya RUU RTRI. Saya secara pribadi mendukung rencana penggabungan antara Radio dan Televisi Republik Indonesia menjadi satu kesatuan. Penggabungan Radio dan Televisi Rebuplik Indonesia merupakan hal yang sangat dinanti oleh masyarakat. Selama ini kita hanya disuguhi oleh berbagai media swasta yang menurut saya arah kebijakannya sudah sangat menyimpang dan kurang unsur pendidikannya. Akibatnya masyarakat kita telah mengalami kerusakan mental dan moral karena tanpa sadar kita telah dibangun oleh media melalui opini. Maka dari itu, saya sangat sepakat dengan adanya penggabungan Radio dan Televisi Republik Indonesia supaya menumbuhkan lembaga penyiaran yang sehat untuk konsumsi masyarakat.
T : Dalam memperjuangkan RUU RTRI, Rumah Perubahan mengusung tagline mewujudkan Lembaga Penyiaran Publik atau LPP harus independen, kuat, profesional, dan berstandar internasionlal, setujukah Bapak dengan tagline tersebut?
BS : Kita tidak bisa memungkiri bahwa kalau kita berbicara tentang LPP sewajarnya kita harus independen tanpa terkontaminasi dari berbagai pihak. Artinya,, apabila kita berbicara LPP bukan berarti LPP ini hanya milik masyarakat, tetapi juga pemerintah karena pemerintah juga publik. Jadi, harus ada sebuah keseimbangan yang dibangun antara masyarakat,, rakyat, bangsa, dengan pemerintah. Nah, bagaimana sekarang dengan RTRI ini nantinya bisa menyatukan antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah di dalam sebuah kesepahaman bersama. Jadi, sangat luar biasa ketika kita berbicara mengenai independen, artinya bahwa output dari lembaga ini ya memang betul-betul sesuai kebutuhan publik melalui corong kita.
T: Selama masa transformasi menjadi LPP, masalah apa yang dihadapi oleh RRI dan bagaimana solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut?
BS : Kalau kita berbicara transformasi RRI menjadi LPP, bila saya boleh berkata jujur, saat ini RRI belum menjadi sebuah LPP karena masih ada beberapa kepentingan. Kalau kita sudah murni menjadi LPP maka tidak akan ada tekanan-tekanan. Lihat BBC (British Broadcasting Corporation) itu murni LPP karena pemberitaan-pemberitaan di BBC jauh dari tekanan. Nah di RRI ini masih ada tekanan-tekanannya, maka RRI ini belum sepenuhnya menjadi LPP. Nah inilah yang harus dibenahi kalau kita sudah menyatakan diri bahwa RRI sebagai LPP, harusnya kita betul-betul melaksanakan visi misi untuk penyiaran publik.
T : Apa harapan Bapak dengan adanya pembaruan payung hukum untuk LPP?
BS : Sangat kita tunggu, tetapi tidak tahu dengan Prolegnas nanti apakah akan segera dibahas atau akan ditendang lagi untuk kesekian sehingga tidak terurus lagi. Saya berkeinginan semoga saudara-saudara kita yang duduk di DPR RI memrioritaskan dan segera membahas RUU RTRI ini karena angkasawan dan angkasawati sudah sangat menunggu, soalnya ini juga menyangkut hajat hidup kita.
Editor: Darmanto