Oleh A. P. Wicaksono
Ya, apakah lembaga penyiaran publik atau biasa disingkat LPP itu? Pertanyaan paling dasar ini memang harus dikemukakan lebih dahulu sebelum kita berbincang jauh soal bagaimana mengelola lembaga penyiaran publik, atau soal apa konsekuensi menjadi lembaga penyiaran publik, dan lain sebagainya. Ini pertanyaan yang saya pikir mendasari mengapa lembaga penyiaran publik di Indonesia masih (harus) hidup.
Sebenarnya, jawaban paling singkat dan pakai nalar umum, bisa saja kita jawab dengan, ya, lembaga penyiaran publik itu lembaga penyiaran yang milik publik. Apa itu? RRI (Radio Republik Indonesia) dan TVRI (Televisi Republik Indonesia) memang . Ya, betul, TVRI dan RRI memang LPP di Indonesia. Tapi apakah mereka itu? Mengapa harus ada embel-embel “publik” di dalamnya? Pertanyaan berlanjut.
Seperti sudah kita diskusikan pada tulisan sebelumnya, publik dalam LPP adalah masyarakat yang berhak mendapatkan informasi. Hak atas informasi adalah hak publik yang harus dipenuhi oleh negara lewat LPP. Maka dari itulah sebabnya LPP harus hidup di Indonesia. Bila LPP tidak ada, atau bahkan tidak memberikan informasi yang sehat, edukatif, mencerdaskan, dan mencerahkan pada masyarakat, maka sama saja LPP tidak memenuhi hak publik.
Seberapa penting kata “publik” dalam LPP? Coba kita ganti kata “publik” pada LPP menjadi “pemerintah”. Apa jadinya? Lembaga penyiaran pemerintah berarti lembaga ini adalah perpanjangan tangan program pemerintah. Dengan kata lain, mengutip Masduki, lembaga penyiaran pemerintah adalah agen pemerintah atau agen kekuasaan.1 Ia menjadi agen pencitraan pemerintah di depan publik. Lembaga penyiaran pemerintah adalah milik pemerintah, bukan publik. Artinya, publik tidak punya peran sebesar di lembaga penyiaran publik.
Masduki melanjutkan pembahasannya dengan menyebutkan ada empat kata kunci yang selalu muncul dalam pendefinisian lembaga penyiaran publik: public broadcasting, public service, public broadcasters, public financing.2 Artinya, publik adalah pemilik lembaga penyiaran publik. Semua dari, oleh, dan untuk publik. Siaran dan publiknya bukan barang jualan, dan publik bukan konsumen. Dari sini, maka bisa disebutkan bahwa siaran LPP yang publik ini, harus berorientasi publik: mencerdaskan, mengedukasi, mencerahkan publik. Sekali lagi, dengan bahasa lain, lembaga penyiaran publik tidak mencari keuntungan (profit) dari hasil penyiarannya (non profit oriented).
Lebih jauh, LPP dengan kata “publik” adalah lembaga penyiaran milik publik yang independen dari “pemerintah” maupun “pasar” yang memang terbukti merepresi/ menekan publik.3 LPP menjadi penting karena lembaga penyiaran komersial telah gagal menjadi agen demokrasi dan hanya melayani kepentingan penguasa yang dominan atau segelintir elit dan kelompok tertentu.4 Terbukti pada era Pemilihan Umum, media tersandera kepentingan politik.5
Singkatnya, LPP tidak cari untung dari publik, tidak takut rugi karena melayani publik, sepenuhnya melayani publik. Bagaimana melayani publik? LPP menyiarkan konten yang bermutu dalam programnya. RP LPP mencatat dalam risetnya pada 2014 mengatakan bahwa program siaran yang bermutu adalah program yang memerhatikan hal-hal seperti ini dalam sajian siarannya yaitu, ”liputan bencana yang humanis, liputan isu konflik yang berdasar pada peliputan dengan sensitif konflik, isu anak-anak dan program kriminal, isu budaya dan seni, isu terorisme, hak asasi manusia, kritis dan independen terhadap pemerintah.”6
Lalu bila menelisik lebih jauh. bagaimana pendanaan LPP seharusnya? Bagaimana tata kelola LPP sejatinya? Siapa yang mengelola aset dan sarana prasarananya? Krakter macam apa penyiar atau jurnalisnya? Simak di tulisan berikutnya.
—————————
1 Masduki, 2016, Lembaga Penyiaran Publik (Tata Kelola dan Kepemilikan), draft buku RP LPP, tidak dipublikasikan., hal. 5
2 ibid., hal. 8
3 Masduki dan Bambang Muryanto, 2007, Jurnalisme Publik pada Media Penyiaran Publik, Vol I, Nomor 2, April, (Yogyakarta: Jurnal Komunikasi UII), hal. 151.
4 Puji Rianto, 2007, Kegagalan Jurnalisme Profesional dan Kemunculan Jurnalisme Publik, Vol. 1, Nomor 2, April, (Yogyakarta:Jurnal Komunikasi UII), hal. 134
5 Anugrah Pambudi W, dkk, 2015, Media terpenjara : bayang-bayang pemilik dalam pemberitaan Pemilu 2014, (Yogyakarta: Kerjasama Perkumpulan Masyarakat Peduli Media (MPM) dan Yayasan Tifa)
6 Masduki dan Darmanto, 2015, #SAVE RRI-TVRI Dokumen Inisiatif Publik untuk Transformasi Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia, Cet. 2, (Yogyakarta: RP LPP dan Yayasan Tifa), hal. 48
One comment