oleh Dr. rer. soc. Masduki
Pendiri RPLPP, Dosen Ilmu Komunikasi UII
Selamat berakhir pekan.
Izin sekedar berbagi catatan ringan (ditulis ulang lebih ringan dari bahan aslinya) dari presentasi saya pada forum bisnis digital yang digelar TVRI Pusat, di Senggigi Lombok, NTB, 21 Oktober 2022. Barangkali bermanfaat.
Saat ini ada sekitar 130 juta pengguna YouTube di Indonesia. Siapa mereka? Menurut saya, ada dua cara pandang untuk mengklasifikasi mereka. Pertama, pengguna aktif media sosial, relasinya bersifat transaksional antara YT sebagai platform distribusi dan agregator konten dengan pengunduh, kreator, user. Kedua, mereka para pengguna media sosial termasuk YT adalah warga negara, pembayar pajak yang memakai platform digital untuk mencari hiburan dan pengetahuan.
Saat ini YouTube adalah platform video on demand terbesar di dunia, yang lahir dari rahim ideologi liberalisme media di Amerika Serikat. Di Indonesia, YT ini nyaris menjadi pemain tunggal, sangat dominan. Pola relasinya selalu bersifat eksploitatif: pengakses adalah asset, berupa kode dan angka statistik yang di-jual untuk para pengiklan. Algoritma jumlah pageviews menjadi indikator utama mengeruk keuntungan bisnis. Adapun supervisi konten berkualitas menjadi urusan berikutnya.
Nah, di tengah hegemoni platform digital global (big tech) ini, apakabar TVRI (Televisi Republik Indonesia), media penyiaran penyedia konten terluas dan tertua?
Kalimat pembuka ringan ini saya sampaikan saat memberi ceramah di bisnis meeting TVRI Pusat di hotel Aruna Senggigi, Lombok, Jumat, 21 Oktober 2022. Saya sependapat bahwa ini bukan sekedar forum membicarakan media baru, tetapi bicara peluang digital engagement.
Ada nuansa optimisme, karena mayoritas peserta acara adalah marketer TVRI yang masih berusia relatif muda, dan intensif mengikuti berbagai sesi pembekalan. Mereka juga pandai bernyanyi, mengisi selingan/break sesi ceramah saya yang berdurasi 3-4 jam. Haha.
Bagian saya tentunya bukan soal bisnis digital, tetapi bagaimana merajut kepentingan bisnis dengan citra dan mandat tradisional TVRI sebagai lembaga media publik. Dari sisi komersial, jutaan warga Indonesia telah memberi keuntungan besar bagi perusahaan platform digital di luar Indonesia.
Dari sisi konten, konsumen yang notabene warga negara mengkonsumsi konten yang belum tentu sehat, tepat dengan kebutuhan. Pengelola media sosial itu jelas tidak sepenuhnya salah. Sebab, jutaan pengguna media sosial di Indonesia sejak memang sekian tahun terabaikan layanan informasi berkualitas dari media nasional, terutama TVRI.
Model produksi dan layanan konvensional yang mengharuskan televisi memproduksi sendiri konten dan mendistribusikan ke khalayak (dari hulu ke hilir) membuat kewalahan di tengah tenaga (SDM dan dana) yang makin tipis. Sedangkan YT dan media sosial lain tidak lagi memakai logika produksi serupa. Mereka cukup sebagai jendela, aggregator, produksi konten sudah dilakukan pihak lain.
Di bisnis konten digital, apa boleh buat, YT lebih dulu hadir dan dikenal. Awalnya gratis, kini penuh dengan iklan. Ini suatu realitas yang ada di depan mata, ketika TVRI dan puluhan platform media nasional Indonesia atau TV komersial terrestrial mencoba peruntungan di ranah bisnis digital.
Dalam kompetisi yang tidak imbang ini, muncul istilah Frenemy (Radch, 2022). Media sosial seperti YT berperan menjadi teman sekaligus ‘musuh’. Baca juga artikel ini: Frenemies: global approaches to rebalance the Big Tech vs. journalism relationship.
Saat ini pilihannya hanya ada dua: kolaborasi dengan platform digital global untuk sharing revenue atau membangun sendiri infrastruktur digital ala Indonesia.
Tantangan terbesar bagi TVRI ketika harus beradaptasi di bisnis digital adalah merawat core business-nya. Apa itu? Media terdepan dalam layanan konten berkualitas. Ini tampak normatif tetapi ukurannya justru harus makin diperjelas, diperbaharui.
Memahami target khalayak menjadi pola pikir awal yang harus ada. Khalayak TVRI selalu dalam dua wajah: pengguna internet yang atraktif dan warga negara. Mereka konsumen yang haus atas hiburan, sekaligus warga negara yang perlu asupan pendidikan, informasi mendalam. Kegagalan mengkombinasi dua hal ini menyebabkan TVRI jatuh menjadi media click-bait.
Jika komitmen melayani warga negara dengan siaran berkualitas tinggi telah disepakati, maka TVRI bisa belajar dari media publik sejenis dalam merancang strategi bisnis. Kita misalnya bisa belajar dari manajemen BBC Inggris. Pertengahan tahun ini, BBC menetapkan investasi sekitar 3,5 trilyun rupiah untuk melanjutkan transformasi digital (infrastruktur dan digitalisasi konten).
Pada saat yang sama: BBC memilih menutup sejumlah kanal terestrial yang tak lagi populer, tidak lagi diakses mayoritas warga, dan membebani anggaran. Channel 4 misalnya. Lebih jauh, BBC memberhentikan sedikitnya 430 staff dengan kompetensi kerja yang masih konvensional. Tiga langkah ini: investasi, penutupan kanal analog, rasionalisasi karyawan menunjukkan adaptasi holistik menuju kompetisi digital.
Beberapa tahun sebelumnya, BBC sudah melakukan langkah adaptasi. Misalnya membangun situs iPlayer (https://www.bbc.co.uk/iplayer), sejak tahun 2007. Secara struktural, BBC membikin Direktorat khusus Digital dengan dikomandani pejabat seringkat Direktur. Dalam hal ini, faktor kepemimpinan transformasi digital menjadi penting. Lembaga ini meyakini bahwa digital menjadi ladang utama, sedangkan konvensional menjadi penunjang agar BBC tetap melayani seluruh warga negara dari berbagai generasi.
Belajar dari BBC di atas, dua kata kunci: restrukturisasi SDM-organisasi dan investasi yang memadai adalah kebijakan kunci yang harus ditempuh media publik di manapun, termasuk TVRI. Dalam praktek ketika media digital telah dikuasai platform berskala global, maka kolaborasi menjadi strategi kerja utama. Adalah diperlukan suatu peta jalan digital TVRI, disertai advokasi regulasi agar ranah digital menjadi wilayah kewenangan yang definitive. Lebih jauh, regulasi antara lain revisi UU No 32/2002 tentang Penyiaran perlu memasukkan aspek restruktusasi kelembagaan dan SDM agar digital adaptive.
Mengapa BBC memulai dan memusatkan inovasi digitalnya pada situs iPlayer? Karena tugas media publik adalah menyediakan konten berkualitas, mendistribusikannya secara terbuka melalui sistem pustaka digital. Penyiaran apapun bentuknya adalah konten. Konten BBC dan juga TVRI selama puluhan tahun menyuguhkan suatu informasi dan pendidikan yang sangat bernilai bagi kehidupan. Masalahnya, ia tidak tersedia secara on demand. Selain itu, upaya digitalisasi dan monetisasi belum dilakukan secara sistematis.
Seorang broadcaster di sela sela acara di Senggigi menceritakan beberapa konten TVRI yang bernilai sejarah sering dicari dan dibeli. Angkanya minimal 15 hingga 30 juta/per dua menit. Ini potensi bisnis yang besar, tapi memerlukan perencanaan bisnis dan rekoleksi data video yang memakan energi. Berbagai rekaman siaran TVRI berserakan di mana-mana, dibajak, dll.
Soal model dan sumber anggaran? Ini relatif. Investasi memang harus besar, tetapi tidak harus berasal dari APBN. Bisa cost sharing dengan kementrian atau perusahaam milik negara, atau re-alokasi anggaran internal TVRI itu sendiri, yang selama ini salah sasaran. Jika diakumulasi, akan lebih dari cukup.
Sebagai contoh, saat ini Kementrian Kominfo gencar mendorong migrasi teknologi siaran analog ke digital. Kebijakan ini memerlukan dukungan ekosistem digital yang harus ditempuh secara simultan. Tanpa ekosistem dan manajemen konten, kebijakan ini hanya berupa pengalihan infrastruktur. TVRI dapat menjadi mitra dalam penguatan ekosistem konten digital.
Persoalan terbesar media konvensional adalah lost audience yang berpotensi akan berlanjut sebab audience lama (berusia kolonial) memerlukan waktu untuk adaptasi penggunaan receiver digital. Sementara itu, belum ada jaminan terjadi perubahan konten yang memenuhi kebutuhan mereka.
Di atas segalanya, teknologi dan model bisnis siaran digital merupakan ‘angin segar’ bagi peningkatan public engagement di TVRI. Maksudnya? Subscribers dan likers adalah bentuk partisipasi dan apresiasi warga atas konten TVRI. Mereka berpotensi memberi ‘dana segar’, baik dalam logika Ad-sense lewat pageviews, maupun bentuk lain seperti urunan/crowdfund, kolaborasi pembiayaan konten, dll.
Jumlah pelanggan Instagram atau kanal YouTube TVRI tentunya perlu terus meningkat. Namun, pola pikir digital public engagement yang sejati adalah aktivasi internet users, penggalangan komentar yang produktif terhadap sajian konten sebagai nilai (values) dan cara pengukuran dampak (impact), yang membentuk TVRI sebagai ‘ruang publik’. Perlu mengelola netizen yang cerdas, yang berperan sebagai loyal promoter plus watchdog, atas nama publik terhadap siaran TVRI.
Pantai Senggigi, Lombok, 22 Oktober 2022.