Diskusi Publik: Masa Depan Penyiaran Publik di Indonesia
Yogyakarta, 10 Maret 2023
Perayaan 10 tahun berkarya
Rumah Perubahan LPP
Kerja sama
Rumah Perubahan LPP dan
Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII
Latar Belakang
Sudah hampir dua puluh tahun eksistensi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) di Indonesia, tetapi tidak ada peta jalan (road map) yang jelas sehingga publik tidak dapat melihat kemajuannya sampai di mana. Ketiadaan peta jalan tersebut tidak hanya terjadi di RRI dan TVRI, tetapi juga pada Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL). Saluran komunikasi publik yang disediakan seperti website rri.co.id, tvri.go.id dan website LPPL tidak menyediakan informasi publik yang dibutuhkan secara memadai untuk kepentingan monitoring, kajian, dan analisis. Bahkan laporan kinerja tahunan saja tidak mudah diperoleh sebagaimana tersedia di laman-laman milik lembaga pemerintahan pada umumnya. Padahal sebagai penyiaran publik semestinya RRI, TVRI, dan LPPL lebih terbuka dibanding lembaga pemerintah karena transparansi menjadi modal utama untuk terwujudnya partisipasi publik sebagai kekuatan dasar LPP (Smith, 2016; Masduki, 2017).
Ketertutupan dalam dunia maya diperparah oleh pola komunikasi secara konvensional. Merupakan realitas yang tidak dapat dimungkiri bahwa komunikasi publik antara pihak manajemen RRI, TVRI, dan LPPL dengan masyarakat luas selaku pemangku kepentingan utama juga tidak berlangsung simetris sehingga mayoritas masyarakat tidak mengetahui perkembangan LPP saat ini. RRI, TVRI, dan LPPL tidak memiliki tradisi menyampaikan laporan kinerja kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban atas mandat yang telah diterimanya. Laporan pertanggungjawaban hanya disampaikan kepada DPR/DPRD dan Presiden/Gubernur tanpa memberi akses kepada public. Pada sisi lain, lembaga legislatif (DPR RI/DPRD) yang seharusnya dapat menjadi triger mendinamisasi penyiaran publik juga tidak dapat berbuat banyak karena salah langkah sejak awal, yaitu memilih Dewan Pengawas RRI/TVRI/LPPL lebih heavy dengan pendekatan politik, bukan profesionalisme/rekam jejak calon di bidang penyiaran publik, serta menempatkan Dewan Direksi sebagai aktor utama yang mewakili RRI/TVRI/LPPL dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan legislatif.
Upaya untuk mengetahui eksistensi LPP, khususnya RRI dan TVRI, dilakukan pula melalui mesin pencari data (googling) tentang pengaruh pemberitaan LPP, dalam hal ini RRI dan TVRI. Metodenya adalah dengan mengetik kata kunci di google yang kemudian memunculkan sekitar 10 item link berita pada setiap halaman layar laptop. Upaya pencarian untuk setiap kata kunci dilakukan sampai dengan halaman 5. Hal itu mengacu pada kebiasaan orang kalau googling sesuatu yang sifatnya generik dan sampai halaman 3 atau 4 tidak ketemu umumnya mereka tidak melanjutkannya. Googling tahap pertama dilakukan pada 10 November 2018, dengan lima kata kunci, yaitu: (1) impor beras, (2) BPJS Bangkrut, (3) angka kemiskinan 2018, (4) Tsunami Sulawesi Tengah, dan (5) bendera tauchid. Tahap kedua dilakukan pada 21 Desember 2022 dengan menggunakan tiga kata kunci, yaitu: (1) RUU KUHP, (3) persidangan kasus Sambo, dan (3) pernikahan Kaesang – Erina. Pada tahap kedua hanya menggunakan tiga kata kunci dengan pertimbangan bahwa tiga isu tersebut paling mendominasi pemberitaan dalam dua bulan terakhir tahun 2022. Bagaimana hasilnya? Baik pada pantauan tahun 2018 maupun 2022, berita-berita RRI dan TVRI ternyata tidak masuk dalam daftar sepuluh besar link berita yang direkomendasikan oleh sistem algoritme google. Yang lebih banyak mendominasi adalah media massa cetak, televisi swasta, dan media online. Temuan itu menjadi indikator bahwa eksistensi RRI dan TVRI sebagai LPP tidak menjadi referensi utama bagi publik dalam mencari informasi. Padahal di era post truth, dan semakin banyaknya media cetak yang mati, serta maraknya media berita abal-abal online, masyarakat luas sebenarnya membutuhkan media yang dapat menjadi rujukan utama mereka dalam memperoleh informasi yang terpercaya, dan dalam kondisi yang demikian RRI dan TVRI sebagai LPP seharusnya menjadi yang terdepan.
Ketiadaan data yang mudah diakses dan kurang dikenalinya RRI, TVRI maupun LPPL oleh mesin algoritma menjadikan LPP kurang popular di masyarakat, terutama di kalangan milenial dan generasi Z karena mereka lebih mengandalkan media sosial dan media massa online. Fenomena seperti itu menyebabkan LPP dalam jangka panjang terancam kehilangan konektivitas dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan utamanya. Kalau pengakses LPP saat ini mayoritas adalah generasi baby boomer, maka masa hidup LPP dapat diprediksi akan sampai kapan, jika tidak ada kebijakan radikal yang dapat merevolusi tata kelola dan kinerja LPP saat ini. Ada banyak hal yang perlu mendapat perhartian serius dan membutuhkan keberanian mengambil langkah-langkah radikal untuk menyelamatkan masa depan LPP di Indonesia:
- Aspek kelembagaan. Status hukum LPP perlu lebih diperkuat agar memiliki kewenangan paripurna dalam mengatur dirinya sehingga tidak tergantung pada pihak lain seperti Kementerian/Dinas Kominfo dan parlemen yang memiliki kemampuan men-drive pengusulan anggaran LPP. Status kelembagaan yang ada saat ini menempatkan LPP tidak berbeda dengan lembaga eksekutif lainnya sehingga tidak mungkin dapat menegakkan prinsip independensi editorialnya.
- Aspek struktur organisasi. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan aturan pelaksanaannya (PP No. 11, 12, 13 Tahun 2005) struktur utama organisasi LPP terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Penggunaan nomenklatur dewan pengawas itu sendiri sudah merupakan problem krusial yang menimbulkan multitafsir di internal LPP menyangkut kewenangannya. Selain itu, Dewan Pengawas sebagai organ tertinggi tidak difasilitasi organisasi pendukung yang kuat seperti dewan khalayah (audience council), ombudsman, satuan pengawas dan gugus kendali mutu, dan divisi litbang. Sebaliknya, dewan direksi sebagai pelaksana justru difasilitasi secara lengkap sehingga terjadi ketimpangan. Akibatnya, otoritas dewan pengawas berada di bawah bayang-bayang dewan direksi sehingga tidak mampu bertindak secara independen.
- Politisasi dalam pemilihan Dewan Pengawas (Dewas). Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses pengangkatan anggota Dewas LPP oleh parlemen sarat dengan pendekatan politisasi. Orang-orang yang memiliki koneksi politik kuat dengan anggota parlemen memiliki peluang besar untuk diterima sebagai anggota Dewas dibandingkan mereka yang memiliki rekam jejak mengenai LPP, tetapi tidak memiliki koneksi politik di parlemen. Padahal menurut Mendel (2005) individu dengan koneksi politik yang kuat atau memiliki kepentingan dalam penyiaran dilarang diangkat sebagai Dewas.
- Aspek SDM. Di lembaga penyiaran publik dunia yang kuat, status pegawainya merupakan pegawai LPP itu yang dikelola secara otonom. Namun, pegawai di LPP Indonesia terdiri dari tiga kategori, yaitu: Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Bukan PNS yang kemudian bertransformasi menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), dan Pegawai Kontrak. Status kepegawaian mereka mayoritas mengikuti ketentuan yang ada di UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka yang berstatus pegawai kontrak juga bercita-cita menjadi PNS atau paling tidak P3K yang dianggap lebih memberikan jaminan masa depan secara ekonomis personal pegawai, tetapi kurang mendukung terciptanya lingkungan yang kreatif dan cara kerja profesional menurut ukuran dunia penyiaran. Padahal menurut Smith (2012) LPP menuntut SDM yang kreatif dan professional.
- Aspek pendanaan. LPP yang kuat pada umumnya didukung oleh sumber pendanaan yang berasal dari publik sehingga dapat menggaransi independensi editorial. Namun, yang terjadi di Indonesia sumber pendanaan LPP masih tergantung pada negara (APBN/APBD) yang proses penetapannya melalui negosiasi politik. Sumber-sumber lain seperti iuran, sponsorship, iklans, hibah, usaha komersial sesuai core business LPP, dan crowdfunding belum dapat diandalkan.
- Model pengelolaan keuangan. Selain sumber dana, persoalan lain terkait dengan masalah pembiayaan adalah model pengelolaannya. Selama ini karena sumber dananya berasal dari negara, maka model pengelolaan keuangan LPP mengikuti standar yang berlaku di lembaga-lembaga pemerintahan. Seharusnya model pengelolaan keuangan LPP mengikuti standar pengelolaan keuangan lembaga penyiaran profesional yang fleksibel dengan perubahan dan kebutuhan actual (Masduki dan Darmanto, 2014).
- Partisipasi publik. Salah satu kekuatan besar dari LPP adalah adanya keterlibatan publik yang tidak terbatas pada kesempatan untuk menjadi anggota Dewas maupun anggota Dewan Direksi, tetapi juga ikut serta menentukan arah penyelenggaraan penyiaran melalui kegiatan penyusunan program, penyelenggaraan monitoring dan evaluasi siaran, menjadi dewan khalayak, sebagai ombudsman, content creator, dan lain-lain.
- Akuntabilitas dan transpararansi. LPP di dunia diharapkan dapat memromosikan akuntabilitas dan transparansi. Namun, kedua hal itu masih jauh panggang dari api untuk LPP Indonesia sehingga publik tidak pernah diberi akses seluas-luasnya untuk mengetahui dalamnya institusi LPP (Mendel, 2005)
- Teknologi penyiaran. LPP mutlak perlu memiliki teknologi penyiaran yang up to date sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang senantiasa mengikuti perkembangan zaman.
- Minimnya perhatian dari masyarakat sipil. Secara umum harus diakui bahwa perhatian masyarakat sipil terhadap LPP jauh lebih kecil dibanding minat mereka terhadap isu penyiaran swasta dan komunitas. Padahal semestinya, LPP mendapat perhatian yang lebih besar mengingat fungsinya sebagai landasan sistem demokrasi (Mendel, 2005, Smith, 2012, Masduki, 2020).
- Peluang transformasi dari LPP menjadi Media Layanan Publik (MLP). Dengan menguatnya perkembangan media digital berbasis internet menantang LPP melakukan transformasi diri dari bentuk konvensional yang disebut sebagai lembaga penyiaran menjadi Media Layanan Publik (Public Service Media, PSM). (Bardoel, 2007) Transformasi dari LPP menjadi MLP mengubah landscap dunia penyiaran yang selama ini bertumpu pada jaringan terrestrial atau mengandalkan ketersediaan frekuensi radio, akan berubah polanya menjadi bertumpu pada jaringan internet.
- Efisiensi dan efektivitas anggaran negara. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan penyiaran radio (RRI) maupun televisi (TVRI), bahkan media cetak (KBN Antara) mampu memberikan bentuk layanan yang sama (audio, audio visual, dan teleteks). Karenanya, demi efisiensi anggaran negara dan efektivitas kerja, sudah waktunya ketiga institusi, yaitu RRI, TVRI, dan KBN Antara disatukan dalam satu wadah menjadi Media Layanan Publik.
Berbagai persoalan di atas membutuhkan perhatian dari semua pihak – para pemangku kepentingan – untuk menemukan solusi terbaik bagi masa depan LPP di Indonesia. Para pengelola LPP (RRI, TVRI, dan LPPL) perlu bersikap terbuka dan membuka diri terhadap partisipasi publik sehingga membentuk rasa memiliki (sense of belonging) di kalangan masyarakat luas. Pemerintah perlu mendukung upaya-upaya untuk penguatan independensi secara editorial LPP, masyarakat sipil perlu melakukan banyak kajian, analisis dan bentuk studi lainnya sebagai sumbangan riil dalam memajukan LPP. Sedangkan parlemen sangat diharapkan dapat melahirkan undang-undang yang dapat memerkuat eksistensi LPP dan menjauhkan nafsu politisasi dalam pemilihan Dewan Pengawas.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) di Yogyakarta bekerja sama dengan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) bermaksud menyelenggarakan Diskusi Publik dengan tema Masa Depan Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia. Meminjam pernyataan Freedman dan Goblot (2020), “Masa Depan Penyiaran Publik: Suram atau Cerah?”
Tujuan Kegiatan
- Memetakan persoalan LPP Indonesia secara lebih komprehensif dan mendalam berdasarkan perspektif para pengelola LPP, dan pemangku kepentingan.
- Menghimpun masukan pemikiran/gagasan dalam menemukan solusi untuk penguatan LPP di Indonesia.
- Merumuskan masukan pemikiran/usulan-usulan untuk disampaikan kepada Komisi I DPR RI yang tengah berproses melakukan Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
- Konsolidasi untuk pengusulan dibentuknya UU Khusus Media Publik di Indonesia.
Target Kegiatan
Semaraknya perayaan 10 tahun RPLPP melalui terumuskannya usulan substansi untuk Perubahan UU Penyiaran, khususnya pada Bab Penyiaran Publik. Jika dimungkinan akan lahirnya UU Khusus Media Publik, maka rumusan ini dapat diadopsi ke sana.
Peserta Diskusi
Diskusi ini diharapkan diikuti oleh 20-25 peserta aktif yang unsur-unsurnya terdiri dari:
- Wakil LPP RRI
- Wakil LPP TVRI
- Wakil LPPL Radio
- Wakil LPPL Televisi
- Perwakilan LKBN Antara
- Perwakilan dari Komisi I DPR RI
- Perwakilan DPRD yang memiliki LPPL
- Direktorat Penyiaran, Biro Hukum Kementerian Kominfo
- Wakil dari Dinas Kominfo yang memiliki LPPL
- Perwakilan PERSADA ID
- Perwakilan KPI Pusat/Daerah
- Akademisi/peneliti yang memilih perhatian terhadap isu LPP
Host/moderator: tim RPLPP Yogyakarta
Prinsip Penyelenggaraan Kegiatan
Kegiatan ini diselenggarakan berdasarkan semangat partisipatif. Masing-masing pihak para pengisi acara diharapkan menanggung pembiayaannya sendiri. Adapun kebutuhan konsumsi paket meeting, dan publikasi acara selama berlangsungnya kegiatan akan ditanggung panitia Program Studi Ilmu Komunikasi UII.
Sumber Dana
Sumber dana untuk penyelenggaraan kegiatan ini berasal dari Prodi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta melalui skema pembiayaan paket meeting, dll.
Waktu Pelaksanaan
Diskusi akan diselenggarakan pada:
Hari : Jumat
Tanggal : 10 Maret 2023
Pukul : 12.30-17.00 WIB
Tempat : Blended (Hybrid) – Offline dan Online
Rencana Tindak Lanjut (RTL)
Hasil diskusi ini akan dilakukan transkripsi dan dirumuskan menjadi usulan untuk disampaikan kepada DPRI RI. Hasil rumusan akan disajikan dalam bentuk e-booklet untuk memudahkan distribusi kepada pihak yang memerlukan dan akan diunggah di laman penyiaranpublik.org.
Pelaksana Kegiatan
Penyelenggaraan diskusi ini Pengelola Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) Yogyakarta, dengan Narahubung: Darmanto (0813 2524 1822). Acara ini digelar dalam rangkaian 10 tahun RPLPP.
Penutup
Demikian TOR ini disusun sebagai acuan dalam penyelenggaraan Diskusi Publik tentang Masa Depan Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia.
Yogyakarta, 6 Februari 2023
Versi PDF unduh di sini