Oleh : Denmas Darmanto
Berlangsung antara tanggal 14 Agustus hingga 6 September 2023 dibuka pendaftaran bagi Calon Direksi LPP TVRI periode 2023-2028. Ada enam posisi yang ditawarkan, yaitu: (1) Direktur Utama, (2) Direktur Program dan Berita, (3) Direktur Teknik, (4) Direktur Keuangan, (5) Direktur Umum, dan (6) Direktur Pengembangan dan Usaha. Peluang ini terbuka bagi masyarakat luas kecuali untuk jabatan Direktur Keuangan dan Direktur Umum yang mensyaratkan pendaftarnya harus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan Pangkat Pembina Tk 1, Golongan Ruang IV/b, dan usia maksimal 56 tahun. Dalam rentang waktu yang bersamaan, Dewan Pengawas (Dewas) TVRI melakukan roadshow jaring aspirasi atau masukan mengenai sosok ideal pemimpin TVRI. Apa yang dilakukan Dewas tersebut merupakan langkah maju untuk pelibatan partisipasi publik secara substantial dalam pengelolaan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP).
Bagaimana sosok pemimpin ideal TVRI periode 2023-2028? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu arsitektur bisnis (business architecture) atau gambaran ikhtisar tentang rangkaian business process yang merefleksikan rumusan strategi pemecahan masalah dan keunggulan bersaing (Irwanto, 2023) TVRI sebagai organisme media. Mengenai arsistektur bisnis, merupakan kewenangan Dewas yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis (renstra). Publik belum tahu, apakah Dewas periode 2023-2028 akan segera membuat renstra baru, ataukah melanjutkan renstra yang disusun Dewas periode sebelumnnya yang berlaku hingga 2024. Sebaiknya memang begitu sehingga Dewas periode ini dapat menyiapkan renstra yang ideal untuk periode 2024-2029.
Selain merujuk pada renstra, sosok pemimpin ideal TVRI dapat dibayangkan berdasarkan kondisi riil yang dihadapi TVRI saat ini dan masa datang. Dalam lima tahun ke depan, TVRI betul-betul menghadapi masa transisi yang krusial baik dari aspek ekosistem media, tata kelola Lembaga Penyiaran Publik (LPP), dan konstelasi politik kenegaraan.
Ekosistem Media
Dari aspek ekosistem media, dapat dipastikan akan semakin kuat dominasi media digital yang berbasis internet dan hal itu sangat berpengaruh terhadap model bisnis TVRI yang selama ini masih analog heavy. Kehadiran internet telah menciptakan paradigma baru dalam berkomunikasi, yaitu: (1) From audience to user, (2) From media to content (3) From monomedia to multimedia, (4) From periodicity to real-time, (5) From scarcity to abundance, (6) From editor-mediated to non-mediated, (7) From distribution to access, (8), From one way to interactivity, (9) From linear to hypertext, dan (10) From data to knowledge (Orihuela, 2017).
Paradigma baru tersebut sudah pasti menuntut TVRI untuk sesegera mungkin melakukan transformasi ke era digital. Konsep “broadcasting” yang usianya lebih dari seabad dipandang sudah ketinggalan zaman. Sejak berkembangnya teknologi internet muncul konsep yang lebih spesifik seperti narrawcasting, kemudian berkembang menjadi point casting (Orihuela, 2017), dan kini masuk era homecasting di mana orang dapat memproduksi konten bagaikan industri rumahan (Widiyanto, 2022), tetapi memiliki pengaruh sangat kuat seperti Deddy Corbuzier (20,8 juta subscriber), dan Najwa Shihab (9,2 juta subscriber). Akibat tekanan media digital, konsep broadcasting yang identik dengan institusi media berubah orientasi lebih pada dimensi konten. Itu sebabnya istilah Public Service Broadcasting (PSB) kemudian bertransformasi menjadi Public Service Media (PSM) (Bardoel, 2007) dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi Public Service Content (PSC) atau Public Service Communication (PSCom).
Tata Kelola LPP
Terdapat dua level dalam tata kelola lembaga penyiaran publik, yaitu level pondasi (foundation level), dan level operasional (operational level). Pada level fondasi terdapat empat hal yang harus diperhatikan, yaitu: status hukum kepemilikan (legal entity), tujuan dan sasaran penyelenggaraan LPP (aim and goals), struktur lembaga (governing bodies), dan adanya jaminan aksesibilitas publik (public access). Adapun pada level operasional tercakup empat hal, yaitu: isi siaran (content service), sumber pendanaan (finance source), model pengelolaan SDM (employment model), dan teknologi penyiaran (broadcast technology) (Masduki, 2017).
Pada level pondasi, TVRI saat ini masih menghadapi permasalahan status hukum (legal entity). Undang-undang dan peraturan turunannya yang ada saat ini belum cukup kuat menopang keberadaan TVRI sebagai LPP, dan bahkan ada ketidaksinkronan antara spirit UU 32/2002 dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2005. Oleh karena itu, direksi TVRI dalam lima tahun ke depan harus mempunyai komitmen mendukung perjuangan terwujudnya UU RTRI (Radio Televisi Republik Indonesia) yang akan menjadi payung hukum bagi LPP yang kuat, independen, dan professional. Advokasi lahirnya UU RTRI memang menjadi domain dari Dewas Pengawas, tetapi fasilitasi untuk itu ada pada dewan direksi sehingga dibutuhkan komitmennya untuk mendukung perjuangan tersebut. Sedangkan aspek tujuan dan sasaran penyelenggaraan siaran TVRI relatif sudah jelas terumuskan sehingga tidak dieksplorasi pada artikel ini. Meskipun demikian, tetap dibutuhkan reorientasi visi TVRI agar selaras dengan tuntutan zaman.
Kemudian aspek struktur kelembagaan (governing bodies). Selama ini terjadi ketimpangan yang tajam antara posisi Dewan Pengawas dengan Dewan Direksi. Dewan direksi ditopang oleh sejumlah organ seperti Satuan Pengawasan Intern (SPI), Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang), dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Diklat). Sementara Dewas tidak ditopang oleh organ yang fungsional. Semestinya, Dewan Pengawas didukung oleh SPI, Puslitbang, Dewan Khalayak (audience council), atau entah apa pun namanya, dan Ombudsman.
Dua organ pertama sudah ada, tetapi penempatannya kurang tepat. Selama ini SPI dan Puslitbang berada di bawah kendali direksi padahal seharusnya itu paling tepat berada di bawah kendali Dewas Pengawas. Sedangkan dua organ terakhir ini belum ada sehingga dibutuhkan komitmen direksi untuk memfasilitasi Dewas Pengawas membentuk dan mengoperasionalkan kedua organ tersebut.
Aspek aksesibilitas publik. Salah satu tolok ukur keberhasilan LPP adalah kemampuannya memberikan akses publik baik untuk duduk dalam struktur organisasi pengelola TVRI, pelibatan dalam penyelenggaraan siaran, melakukan supervisi dan evaluasi program, dan kemudahan akses untuk mendapatkan laporan pengelolaan TVRI seperti semudah kita mengakses dokumen-dokumen penting BBC Trust. Dewan direksi yang terpilih nantinya diharapkan memiliki perspektif ke arah pelibatan publik secara substansial dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada publik untuk terlibat dalam pengelolaan TVRI. Termasuk di dalamnya adalah komitmen untuk pelibatan sumber daya manusia (SDM) dari kalangan disabilitas minimal 2% dari jumlah pegawai TVRI. Aksesibilitas publik juga perlu dibuka untuk rekrutmen Kepala Satuan Kerja (kasatker). Kebijakan mengenai hal itu semestinya memang dari Dewan Pengawas, tetapi direksi juga berhak menyampaikan usulan dan rencana akstinya. Dewan Pengawas dan Direksi secara bersama-sama perlu memiliki keberanian melakukan terobosan dengan mengadakan open bidding dalam rekrutmen calon, seperti rekrutmen dewan direksi maupun jabatan tinggi pratama, jabatan tinggi madya, dan jabatan tinggi utama yang diatur dalam UU ASN. Kalau Dewan Pengawas dan Dewan Direksi direkrut secara terbuka, semestinya kebijakan yang sama berlaku juga untuk rekrutmen kepala satuan kerja.
Adapun pada level operasional, keempat aspek masih memerlukan perhatian yang serius. Terkait dengan aspek layanan siaran adalah bagaimana mengejawantahkan fungsi TVRI sebagai LPP sebagaimana juga diamanatkan pada Pasal 5 UU 32/2002. Mengimplementasikan trilogi Reithian, yakni menyajikan informasi, mendidik, dan menghibur dalam kerangka pembentukan karakter bangsa membutuhkan energi besar dan bekal pengalaman yang panjang. Dalam situasi penuh gempuran budaya asing, upaya mewujudkan Indonesian content (Widiyanto, 2023) bukan hal mudah.
Di samping isu Indonesian content, aspek layanan siaran TVRI juga masih menghadapi masalah masih terbatasnya jumlah pengakses siaran. Meskipun lembaga penyiaran publik menolak nalar rating, tetapi jumlah pengakses akan menjadi penanda berfungsi tidaknya secara optimal TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Jika jumlah pengaksesnya besar, berarti institusi itu memiliki pengaruh luas pada masyarakat, dibanding jika pengaksesnya sedikit. Di era digital, jumlah pengakses itu mudah diketahui misalnya dari banyak sedikitnya subscriber. Layar TVRI Nasional masih perlu mendapatkan sentuhan kreativitas tinggi agar menarik minat masyarakat, terlebih dari generasi milenial, generasi Z, dan entah generasi apa nanti yang akan datang. Artinya, dibutuhkan seorang direktur program yang paham betul dengan karakter media di era digital, tetapi sekaligus memiliki sensitivitas terhadap kebutuhan dari generasi baby boomers yang lebih nyaman dengan teknologi analog.
Pada aspek pendanaan, sekitar 90% biaya operasional TVRI berasal dari APBN. Padahal UU 32/2002 dan PP 13/2005 mengamanatkan adanya sumber lain, yaitu: iuran penyiaran, sumbangan masyarakat, siaran iklan, dan usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Namun, selama ini belum terlihat adanya usaha serius untuk menggali sumber pendanaan di luar APBN. Masalah iuran penyiaran, sebenarnya sejauh mana yang sudah diusahakan oleh pihak TVRI untuk menggalinya. Begitu juga terkait dengan sumbangan dari masyarakat, bagaimana upaya yang dilakukan pihak TVRI untuk menggalinya, misalnya melalui crowdfuding untuk program-program tertentu. Bagaimana pula dengan upaya monetisasi dari kekayaan karya cipta insan TVRI selama ini. Tantangan itulah yang mesti dipecahkan oleh direktur keuangan dan pengembangan usaha.
Kemudian terkait dengan pengelolaan sumber daya manusia (SDM), perlu dicari calon direktur yang memahami betul core business TVRI sebagai penyelenggara layanan publik di bidang informasi, pendidikan, dan hiburan untuk membangun karakter bangsa, dan membentuk identitas nasional. Mandat seperti itu berimplikasi terhadap pilihan model pengelolaan SDM TVRI. Selama ini manajemen SDM TVRI cenderung mengikuti kultur birokrasi pemerintahan yang sesungguhnya sudah tidak sesuai dengan kebutuhan riil dalam percaturan media di era digital. Untuk itu diperlukan sosok Direktur Umum yang mengurusi masalah SDM memiliki keberanian mereformasi tata kelola SDM TVRI. Perbanyak SDM yang bukan PNS, sedangkan PNS hanya diproyeksikan untuk mengurus aspek keuangan, aset, dan urusan lain yang memang diamanatkan oleh peraturan perundangan harus dilakukan oleh PNS.
Demikian halnya terkait dengan posisi Direktur Teknik perlu dipilih orang yang benar-benar memiliki kompetensi di bidang pengembangan teknologi penyiaran berbasis digital. Sebab, dialah yang akan menjadi motor penggerak dalam melakukan inovasi teknologi penyiaran TVRI agar bisa adaptif dengan perkembangan zaman. Jangan sampai inovasi dilakukan dengan cara “membeli” jasa pihak lain karena hal itu akan dapat melemahkan TVRI.
Politik Kenegaraan
Dari aspek politik kenegaraan, TVRI dihadapkan pada dua agenda besar. Pertama, ikut serta menyukseskan Pemilu serentak 2024 yang sudah tentu membutuhkan perhatian dan energi sangat besar mengingat terpaan hoaks, disinformasi, misinformasi, dan malinformasi dari hari ke hari semakin kuat. Kedua, merespon perpindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia (IKN RI) dari Jakarta ke Nusantara. Jika tahun 2024 ditetapkan sebagai tahun perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke wilayah Penajam, Kalimantan Utara, dengan sendirinya stasiun pusat TVRI juga harus berpindah ke sana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Itu artinya, pimpinan TVRI dalam lima tahun ke depan harus memiliki kemampuan dalam mengorkestrasi potensi internal maupun eksternal untuk dapat memecahkan permasalahan tersebut.
Selain itu, LPP TVRI yang mengemban tugas sebagai pembawa bendera (flag carrier) bangsa mesti mampu melakukan diplomasi kultural. TVRI juga harus memiliki komitmen untuk penguatan ideologi Pancasila yang saat ini seperti “disia-siakan” oleh sebagian besar elemen bangsa dan hanya menjadi ornamen dalam kegiatan seremonial, tetapi miskin makna. TVRI juga harus menjaga ketahanan budaya bangsa, melakukan penguatan bahasa lokal dan bahasa nasional, serta mampu mengondisikan terbentuknya selera tingkat tinggi masyarakat melalui asupan informasi, pendidikan, dan hiburan yang berkualitas.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam lima tahun ke depan TVRI membutuhkan pimpinan (kolektif kolegial) yang memenuhi kualifikasi, antara lain, tetapi tidak terbatas pada hal-hal berikut:
- Memiliki kemampuan intelektual yang memadai, selera seni, pemahaman sosial, politik, dan budaya yang menjadi bekal dasar bagi pengelola media
- Mampu mewujudkan visi dan misi yang ditetapkan oleh Dewan Pengawas
- Mampu mentransformasi TVRI memasuki era digital, tanpa meninggalkan kewajiban melayani kelompok masyarakat yang tetap nyaman di dunia analog
- Mampu mewujudkan TVRI yang berpengaruh dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menjadi rujukan utama bagi setiap warga dalam memperoleh informasi yang berkualitas, pendidikan yang mencerahkan, dan hiburan yang sehat dan bercita rasa tinggi.
- Memiliki kreativitas tinggi, berkemampuan adaptif dalam menghadapi tantangan era digital
- Kemampuan mewujudkan the Indonesian content. Layar TVRI dan/atau produksi program mampu menampilkan identitas ke-Indonesiaan. Zaman Orde Baru penyiar dan reporter TVRI merepresentasikan Ke-Indonesia-an.
- Kemampuan menyediakan konten yang dibutuhkan oleh publik
- Kemampuan meningkatkan kerja sama dengan LPP lain di luar negeri
- Kemampuan melakukan penguatan program internasional sebagai flag carrier.
- Kemampuan melakukan intensifikasi program untuk penguatan ideologi Pancasila
- Kemampuan penguatan program budaya, bahasa, dan identitas nasional
- Bersedia melakukan penataan ulang kelembagaan agar tercipta keseimbangan antara Dewas dan Direksi
- Kemampuan fasilitasi untuk mendukung lahirnya UU RTRI demi penguatan LPP TVRI
- Kemampuan fasilitasi terbentuknya Dewan Khalayak/Forum Publik, dan Ombudsman TVRI
- Kemampuan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat dalam pengelolaan TVRI
- Kemampuan menyiapkan kantor Pusat TVRI pindah ke IKN
- Kemampuan melakukan penataan ulang SDM sesuai amanat PP 13.2005 dan sesuai dengan kebutuhan LPP.
- Memiliki komitmen untuk mengalokasikan minimal 2% SDM TVRI diisi oleh penyandang disabilitas.
- Kemampuan membangun soliditas pegawai TVRI.
- Kemampuan monetisasi karya cipta kreatif TVRI
- Kemampuan melindungi hak cipta dan hak paten insan TVRI
- Kemampuan melakukan pengelolaan arsip dan bahan siaran
- Keberanian melakukan terobosan dalam rekrutmen Kepala Satuan Kerja
- Kemampuan melakukan kolekting dana seperti CSR, crowdfouding, dan hibah dari pihak yang tidak memiliki permasalahan hukum dan etik
- Memiliki keberanian mengambil resiko ketika harus membuat deskresi demi kemajuan TVRI
- Bersedia untuk dievaluasi secara periodik dan menerima putusan hasilnya secara legawa
Rekomendasi:
- Cari orang yang sudah selesai dengan persoalan dirinya, bukan job seekter, bukan pencari panggung untuk eksistensi diti, tetapi mereka yang butuh ruang pengabdian bagi kepentingan publik.
- Cari orang yang tidak memiliki cacat moral, dan cacat etik yang dapat ditelusur melalui jejak digital.
- Cari orang yang memiliki rekam jejak bagus di bidangnya (kecuali Direktur Program dan Berita, rekam jejaknya tidak harus di bidang media).
- Dirut hendaknya dipilih orang yang memiliki trust baik di internal maupun luar TVRI.
- Dirut hendaknya dipilih orang yang memiliki kemampuan berpikir dan bertindak secara out of the box.
- Dirut sebaiknya orang yang memiliki kemampuan menjalin kerja sama di level nasional dan internasional
- Dirut sebaiknya tidak diproyeksikan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
- Direktur Program dan Berita hendaknya dipilih orang yang relatif muda (usia maksimal 45 tahun) memiliki pengalaman dalam pengelolaan media/konten kepublikan yang tinggi, dan memiliki kemampuan melakukan pengkondisian terbentuknya direktorat layanan digital
- Direktur Keuangan sebaiknya diproyeksikan sekaligus sebagai Kuasa Pengguna Anggaran sehingga harus dipilih orang yang benar-benar memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi.
- Usia untuk Direktur Keuangan dan Direktur Umum maksimal harusnya 55 Tahun pada waktu dilantik, sebab kalau 56 tahun, empat tahun kemudian pensiun sehingga Dewas harus memilih direktur baru.
- Direktur Pengembangan dan Usaha (PU) hendaknya dipilih orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi publik guna pengarusutamaan (mainstreaming) isu penyiaran publik. Direktur PU mestinya giat masuk ke kampus-kampus, sekolah, menjalin kerja sama dengan berbagai komunitas untuk memperkenalkan penyiaran publik
- Untuk menentukan komposisi menduduki jabatan, mekanisme tes sebaiknya menggunakan model diskusi Tim Kelompok Kerja sehingga terlihat kemampuan mereka dalam bekerja secara kolektif kolegial.
- Perlu dibuat Tim Independen berbasis sukarelawanan dan/atau kolaboratif dengan lembaga yang sudah berpengalaman untuk melakukan tracing terhadap calon-calon yang berpotensi untuk diterima.
Denmas Darmanto adalah nama akun medsos dari Darmanto, Peneliti pada Pusat Kebijakan Publik (PRKP) BRIN dan Pegiat Penyiaran Publik pada Rumah Perubahan LPP (penyiaranpublik.org).
Referensi:
Bardoel, Jo and Gregory Ferrell, 2007. From Public Service Broadcasting to Public Service Media: The Core Challenge, RIPE@2007. Göteborg, Sweden: Nordicom, pp.9-26.
Irwanto, Djon, 2023. Strategi Transformasi Digital: Solusi Menghadapi Hempasan Gelombang Digital Disruption, Yogyakarta: Penerbit ANDI
Masduki, 2017. Tata Kelola Lembaga Penyiaran Publik, Yogyakarta: Samudra Biru, RPLPP, dan Yayasan Tifa
Orihuela, Jose Luis, 2017. The 10 new paradigms of communication in the digital age. https://jlori.medium.com/the-10-new-paradigms-of-communication-in-the-digital-age-7b7cc9cb4bfb (10/07/2023)
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Siaran Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Widiyanto, Paulus, 2023. “Televisi Republik Indonesia: Meta-Technology and Cross-Media On The Road to the Indonesian Content,” dalam FGD-TVRI, Jakarta, 20 Juli.