Oleh A. P. Wicaksono
Pernahkah anda mendengar istilah publik dalam LPP? Atau anda justru mengetahui LPP adalah singkatan dari Lembaga Penyiaran Pemerintah? Pertanyaan di sana saya tujukan pada anda yang sama sekali belum pernah dengar akronim LPP atau istilah media publik, radio publik, dan televisi publik. Bisa jadi anda bertanya-tanya mengapa saya memertanyakan soal definisi publik pada tulisan kali ini. Sebab definisi ini menjadi penting dan krusial ketika diksi ini kita sandingkan pada frasa “lembaga penyiaran”. Tentu akibat, konsekuensi, dan dampaknya akan berbeda jika saya hilangkan kata “publik” pada kata “lembaga penyiaran” tadi. Tapi apa?
Baiklah, mari kita coba selidiki sedikit demi sedikit. Saya akan mengajak anda melihat video hasil wawancara relawan kami dengan masyarakat yang secara acak mereka temui. Mereka bertanya tentang apa itu LPP, Publik, Radio Publik, Televisi publik, atau semacamnya. Simak video itu di tautan ini. Misalnya, Fani Latifah, mahasiswa yang tinggal di Sewon Jogja, ia mengira semua lembaga penyiaran adalah lembaga penyiaran publik di bawah naungan Komisi Penyiaran Indonesia. Namun yang menarik, ia mendefinisikan lembaga penyiaran publik sebagai lembaga penyiaran yang konten penyiaran dan kepentingannya untuk publik. Kebalikannya, lembaga penyiaran pemerintah ya hanya untuk sosialisasi program pemerintah, dan itu bukan lembaga penyiaran publik.
Coba simak lagi harapan masyarakat seperti Tatik Djendro Soetopo dari Gunungketur, Yogyakarta, di tautan video ini. Ia menyatakan Radio Republik Indonesia (RRI) memang harus jadi radio publik. Menurutnya, Radio Republik Indonesia bisa menjadi radio publik dengan tetap dapat menjadi penyambung rasa, tempat masyarakat atau publik kasih saran dan pendapat. Jadi masyarakat juga punya peran dalam radio publik. Publik juga tidak cuek ikut aktif dalam membangun Radio Republik Indonesia (RRI).
Hasil riset Muzayin Nazaruddin, peneliti Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RP – LPP), pada 2016, mencatat hasil wawancaranya pada salah satu direktur di jajaran direksi Radio Republik Indonesia (RRI) dan Kepala RRI Yogyakarta1 yang berpendapat bahwa publik dalam Lembaga Penyiaran Publik ada tiga. Pertama, pemerintah, yang dalam hal ini adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, praktisi LPP, dan ketiga adalah publik itu sendiri. Definisi ini terkesan memaksakan beberapa pihak yang nyatanya adalah pelayan publik menjadi publik. Bagaimana bisa pemerintah yang sesungguhnya adalah pelayan publik dikategorikan sebagai publik. Sayangnya Nazaruddin tidak menjelaskan lebih dalam argumen dari pendapat dua narasumbernya ini.
Mari kita lacak lagi dari hasil riset ini. Riset Nazaruddin yang berupaya memeriksa bagaimana tata kelola LPP yang ideal ini menyimpulkan definisi publik yang lebih realistis dan obyektif dari wawancaranya dengan Lukas Ispandriarno, seorang akademisi dan pengamat media yang kawakan dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Lukas mengatakan bahwa publik sesungguhnya adalah, “… warga masyarakat yang memiliki hak-hak untuk memeroleh informasi melalui media. Jadi, publik dalam hal ini berhubungan dengan hak-hak atas informasi. Sedangkan pemerintah adalah lembaga yang bertanggungjawab pada publik.”
Dari sini, cukup jelas. Ada perbedaan antara siapa publik dan siapa yang mengatur (baca: melayani) publik. Saya kira kita telah menemukan definisi penting diksi “publik” dari “lembaga penyiaran publik”, bukan? Lalu, apakah penyiaran publik itu? Mengapa kata “publik” ada dalam lembaga penyiaran? Mari kita bahas pada tulisan selanjutnya.
1Muzayin Nazaruddin, 2016, Laporan Riset Tata Kelola Radio dan Televisi Republik Indonesia (RTRI), tidak dipublikasikan, (Yogyakarta: RP LPP), Hal. 4
One comment