Kerangka Acuan Diskusi
Latar Belakang
Sejak UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan, upaya mewujudkan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang kuat, netral, independen, dan profesional terus dilakukan berbagai pihak termasuk kelompok masyarakat sipil. Akan tetapi, hasil yang diperoleh masih jauh dari harapan. Baik Radio Republik Indonesia (RRI) maupun Televisi Republik Indonesia (TVRI) selaku pemegang mandat LPP nasional masih bergelut dengan kompleksitas permasalahan internal yang tidak bisa diatasi sendiri karena bersifat struktural. Kondisi yang sama juga dihadapi oleh Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL). Kecenderungan kepala daerah untuk menjadikan LPPL sebagai instrumen politik kekuasaan sangat kuat tanpa kontrol dari masyarakat.
Di samping itu, dasar hukum operasional LPP berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan di bawahnya ternyata tidak memadai. Akibatnya, status hukum LPP tidak jelas dan berimplikasi terhadap eksistensi lembaga ini. Secara ekonomi politik, demokratisasi penyiaran sebagai amanat UU 32/2002 tidak berjalan lancar. Pelaku penyiaran swasta mengebiri fungsi-fungsi ideal regulasi dan regulator penyiaran sehingga terjadi kemandegan tata kelola sistem penyiaran yang demokratis (Rianto, dkk, 2012). Seandainya demokratisasi berjalan baik, akan tercipta keseimbangan antara lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran komunitas.
Namun, kondisi yang terjadi menunjukkan bahwa lembaga penyiaran swasta begitu kuat, sedangkan lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran komunitas cenderung mengalami pelemahan baik di lingkup regulasi maupun operasional. Berdasarkan fakta empirik tersebut, muncul kesadaran dari sejumlah elemen masyarakat sipil bahwa untuk membangun LPP yang kuat, netral, independen, profesional, dan berstandar internasional tidak mungkin dilakukan hanya dengan cara-cara biasa, misalnya dengan perbaikan sistem manajemen. Sebab, persoalan utamanya bukan di aspek manajerial semata, tetapi menyangkut aturan perundangan yang menjadi payung hukum.
Selama peraturan perundangan yang menjadi payung hukum dalam pengelolaan LPP masih sama, mustahil dapat mewujudkan LPP seperti diharapkan banyak pihak. Sehubungan dengan itu, Usul Inisiatif Komisi I DPR RI periode 2009-2014 mengenai perlunya Undang-Undang Radio Televisi Republik Indonesia (UU RTRI), patut disyukuri dan didukung sepenuhnya. Keberadaan UU RTRI yang berdiri sendiri, terpisah dari UU Penyiaran akan menjadi jawaban atas tuntutan revitalisasi RRI dan TVRI sebagai LPP yang kuat, independen, profesional, dan berstandar internasional. Di berbagai negara maju, keberadaan LPP memang diatur melalui UU tersendiri. Misalnya, di Australia penyiaran publik diatur melalui ABC Act dan BBC di Inggris diatur dengan Royal Charter (Masduki, 2017).
Gagasan melahirkan UU RTRI mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil yang peduli terhadap isu penyiaran publik. Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) sebagai organisasi masyarakat sipil (OMS) yang menaruh perhatian pada isu penyiaran publik merasa terpanggil memberikan sumbangan pikiran dalam mewujudkan UU RTRI yang akan menjadi payung hukum keberadaan LPP di Indonesia. Niat RPLPP untuk berkontribusi dalam proses lahirnya UU RTRI tersebut didukung oleh Yayasan Tifa yang kemudian mendanai sejumlah studi selama periode 2013-2017. Berdasarkan hasil studi itulah kemudian lahir RUU RTRI versi publik dilengkapi dengan Naskah Akademik. Publik perlu terlibat aktif dalam proses penyusunan kebijakan penyiaran dalam bentuk undang-undang agar aspirasinya terwadahi. Apalagi dalam upaya mewujudkan lembaga penyiaran publik yang kuat, independen, profesional, dan berstandar internasional keterlibatan publik sangat menentukan.
Fakta empirik menunjukkan bahwa di negara-negara demokratis, penyiaran publik dapat berkembang baik karena adanya dukungan penuh dari publik, terutama dalam hal pendanaan melalui mekanisme iuran penyiaran. Dengan kata lain, eksistensi penyiaran publik akan sangat ditentukan oleh partisipasi warga negara. Oleh karena itu, selama berlangsungnya proses legislasi untuk melahirkan UU RTRI, pihak DPR RI dan Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi warga negara untuk berpartisipasi. Publik sebagai pemilik LPP, jangan sampai hanya menjadi penonton, tetapi harus berperan sebagai subjek yang ikut menentukan isi UU RTRI agar sesuai dengan kepentingan publik.
Versi Lengkap Kerangka Acuan (TOR) ini dapat diunduh di tautan berikut