Cara Natsir Mendukung RRI untuk Tetap Kritis

Oleh: Denmas Darmanto

Pegiat Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik

Nama Thomas Sugito tidak banyak dikenal oleh angkasawan RRI dekade 1990-an ke era pascareformasi saat ini. Karier terakhirnya sebagai pegawai Departemen Penerangan (Deppen) adalah Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF). Sebelumnya, dia malang melintang menjadi pejabat struktural di lingkungan Deppen, terutama Radio Republik Indonesia (RRI) dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Radio pada tahun 1979. Alumni Program Pendidikan satu tahun di Amerika untuk Jurusan Produksi Radio dan Televisi 1959-1960, itu bergabung di RRI Yogyakarta awal tahun 1947. Sebelum masuk RRI, Thomas Sugito menjadi jurnalis di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat dan Harian Nasional di Yogyakarta, yang pada waktu itu menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia.

Pada pertengahan tahun 1995, ketika sedang menyiapkan penyusunan Buku ”50 Tahun RRI Yogyakarta Mengudara”, saya sempat mewawancarainya di rumahnya di Yogyakarta. Pada tahun dan tempat yang sama, sejumlah angkasawan muda RRI Yogyakarta pernah mengadakan diskusi dengan beliau tentang reaktualisasi nilai-nilai Tri Prasetya RRI yang sudah lama tidak dikumandangkan setiap kali peringatan HUT RRI. Thomas Sugito berharap agar suatu saat Tri Prasetya RRI dibacakan kembali di setiap HUR RRI tanggal 11 September.  Tanpa diduga, harapan yang sama menjadi bahan diskusi serius oleh Angkasawan RRI se Nusantara II di Kompleks PPPG Jl. Kaliurang Yogyakarta di bawah supervisi Sekretaris Direktur Radio saat itu, Kabul Budiono.

Cerita menarik dari Thomas, yang tidak pernah saya lupakan adalah tentang kehadiran Menteri Penerangan era Kabinet Syahrir III, yaitu Mohammad Natsir Datuk Sinaro Panjang yang lebih populer dengan sebutan Natsir. Pria kelahiran Solok Sumatra Barat itu pernah menjadi Menteri Penerangan sampai tiga periode. Pertama, periode 12 Maret 1946 s.d. 26 Juni 1946. Kedua, periode 2 Oktober 1946 s.d. 26 Juni 1947; dan Ketiga periode 29 Januari 1948 s.d. 4 Agustus 1948.

Sebulan setelah Natsir lengser dari posisi Menteri Penerangan periode kedua, terjadi musibah penembakan pesawat Dakota VT-CLA yang mengakibatkan gugurnya Komodor Agustinus Adisutjipto, Komodor Abdulrachman Saleh (Ketua RRI pertama), Adi Sumarmo Wiryokusumo, para awak pesawat, dan penumpang lain berkebangsaan asing. Padahal pesawat tersebut mengangkut bantuan medis Palang Merah Malaya untuk Indonesia. Wajar kalau rakyat Indonesia marah, dan RRI tidak tinggal diam. Protes RRI pada waktu itu diungkapkan dalam bentuk pemberitaan yang cukup intens. Presiden Sukarno terus memantau pemberitaan tersebut dan timbul kegusaran kalau-kalau hal itu dapat mengganggu proses diplomasi antara Indonesia dengan Belanda. Maka diutuslah Natsir untuk memberikan teguran ke RRI. Pada waktu itu kedudukan Natsir sebagai Menteri Penerangan sudah digantikan oleh Setiadi Reksoprodjo (3 Juli s.d. 11 November 1947). Kenapa Natsir yang diutus, bukannya Menteri Penerangan sendiri? Dugaan saya, Mungkin karena usia Setiadi Reksoprodjo pada waktu itu baru 25 tahun 7 bulan dan masih terbatas pengalamannya sehingga khawatir kalau kurang diperhatikan oleh jurnalis RRI yang lebih senior.

Natsir akhirnya datang ke studio RRI di Jl. Secodiningrat dengan mengayuh sepeda dari Gedung Agung di Jl. Malioboro yang jaraknya kurang lebih 300 meter. Secodiningrat kini telah berubah nama menjadi Jl. Panembahan Senopati. Bekas gedung RRI sekarang menjadi kantor Bank Indonesia yang berada tepat di sebelah timur Kantor Pos Besar Yogyakarta.

Kehadiran Natsir ditemui oleh Kepala Pemberitaan RRI, Thomas Sugito, dan beberapa jurnalis RRI Yogyakarta. Sesampai di studio, Natsir tidak langsung menyampaikan tujuan kedatangannya, tetapi mengajak ngobrol dan meminta penjelasan mengapa RRI intens memberitakan penembakan pesawat yang menyebabkan gugurnya Komodor Adisucipto dan Abdurahman Saleh. Setelah dijelaskan alasannya, Natsir bilang, ”Teruskan kerja kalian.  Nanti kalau ada utusan presiden yang meminta kalian berhenti, bilang saja ”Pak Natsir sudah memperingatkan kami.”

Seandainya yang dilakukan Natsir ditiru oleh pemimpin-pemimpin lainnya yang peduli pada informasi berkualitas dan menyangkut kepentingan publik, niscaya lembaga penyiaran publik kita, RRI maupun TVRI, akan semakin kuat dan terpercaya. Persoalannya, mampukah Dewan Pengawas dan Direksi RRI berdiplomasi dengan petinggi lembaga negara demi menjaga independensi?

=========================================

penyiaranpublik.org menerima kisah-kisah lain seputar penyiaran publik baik pengalaman pribadi, di level Indonesia, maupun luar negeri. Baik itu tentang media layanan publik (public media service) di Indonesia, pegiatnya, advokasi, regulasi, maupun gagasan-gagasan ilmiah.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *